Untuk mendeskripsikan hubungan antara Islam dan sains dalam Peradaban
Islam pada abad kedelapan sampai enam belas, pembahasan ini
mengeksplorasi perkembangan spesifik cabang sains tertentu. Tentu saja
bagian ini bukan sejarah yang komprehensif dari tradisi ilmiah Islam,
tetapi hanya deskripsi perkembangan tertentu setiap cabang sains yang
memiliki hubungan langsung dengan agama. Beberapa cabang sains (seperti
mekanika) tidak ada hubungannya secara langsung dengan agama, sedangkan
yang lainnya (seperti kosmologi dan geografi) memiliki hubungan langsung
dengan agama dan karenanya memerlukan perhatian lebih mendalam.
Penggunaan istilah yang serupa dalam wacana sains, filsafat, dan agama juga menambah kebingungan. Sebagai contoh, apa yang dimaksud Aristoteles dengan celestial region tidak sama menurut pendapat para Sufi, meskipun keduanya menggunakan istilah celestial untuk menunjukkan wilayah di luar zona terrestrial. Celestial region menurut para Sufi dihuni oleh entitas tertentu yang memiliki karakteristik tertentu, pendapat ini sangat berbeda dengan Aristoteles. Kosmologi, tentu saja mengalami perkembangan secara filosofi selama periode Yunani, tradisi ilmiah Islam, dan bahkan sampai sekarang. Banyak data eksperimental telah ditemukan yang menjadi fondasi langsung pada pertanyaan tentang asal-usul kosmos, utamanya secara teoritis.
Kepercayaan kosmologis Islam berakar kepada Al-Quran yang berurusan secara ekstensif dengan masalah ini. Jadi, pertanyaan utamanya adalah bagaimana pemahaman mufassir, filsuf, dan ilmuwan selama periode tersebut (abad kedelapan sampai enam belas) terhadap ayat-ayat kosmologis yang disebut Al-Quran. Perdebatan muncul karena adanya ketegangan ketika masuknya kosmologi Aristotelian ke dalam tradisi Islam yang selanjutnya menghasilkan doktrin kosmologis tertentu.
Seperti telah dikemukakan sebelumnya, Al-Quran memperlakukan seluruh apa yang diciptakan sebagai tanda (sign), ayat. Hal ini termasuk alam semesta dan semua yang ada di dalamnya. Menurut definisinya, ayat merujuk kepada sesuatu selain dirinya sendiri. Dengan demikian, jika dilihat dari perspektif Al-Quran, alam semesta dan semua yang ada di dalamnya merupakan tanda-tanda Sang Pencipta yang diciptakan melalui perintah sederhana: Jadilah (be, kun) (QS. 36:82). Meskipun Al-Quran memberikan penjelasan yang sangat spesifik mengenai penciptaan kosmos, ia tidak memberitahu kita dengan apa dibuatnya atau kapan. Selain itu, penting untuk diingat bahwa alam semesta menurut Al-Quran bukan hanya materi fisik yang terdiri dari bintang-bintang, planet dan entitas fisik lainnya; tetapi juga mencakup kosmos spiritual yang dihuni oleh entitas nonfisik. Kosmos nonfisik itu terdiri dari tingkat-tingkat eksistensi yang tak terhitung dan jauh lebih unggul dari alam fisik yang menempati posisi relatif rendah dalam tingkat eksistensi.
Dalam perspektif Al-Quran tentang penciptaan alam fisik dapat diringkas sebagai berikut: alam semesta diciptakan Tuhan untuk suatu tujuan. Setelah menciptakan alam semesta dan semua yang terkandung di dalamnya, Tuhan tidak meninggalkannya; karena kenyataannya seluruh ciptaan selalu membutuhkan Tuhan; tanpa cinta-Nya kosmos tidak bisa eksis. Pada saat sebelum mewujudnya suatu momen, kepastian pengetahuan tetap berada pada Tuhan. Segala sesuatu yang ada di dunia akan binasa. Hal ini akan diikuti dengan kebangkitan dan kehidupan jenis baru di bawah seperangkat hukum yang sama sekali baru.
Secara umum, penciptaan dan akhir dari kosmos dapat ditemukan di ayat-ayat yang dilengkapi dengan rincian spesifik yang tersebar di seluruh Al-Quran. Alam semesta diciptakan dalam enam hari (QS. 7:54-56; 25:59), penciptaan bumi dalam dua masa (QS. 41:9), Tuhan juga menciptakan tujuh langit (QS. 2:29), tujuh langit yang berlapis-lapis (QS. 67:3). Tuhan menghiasi langit dengan bintang-bintang (QS. 67:5); Dia yang menggerakkan semua bintang dan planet-planet sehingga dapat membimbing perjalanan manusia dengan posisi mereka (QS. 6:97); Dia menutupkan malam atas siang dan menutupkan siang atas malam (QS. 39:5). Sangat penting untuk dicatat bahwa kata “hari” yang digunakan dalam ayat-ayat ini dalam tradisi Islam selalu dipahami secara non-kuantitatif. Al-Quran itu sendiri menjelaskan bahwa sehari disisi Tuhan adalah seperti seribu tahun menurut perhitunganmu (QS. 22:47). Dalam ayat lain disebutkan satu hari yang kadarnya adalah lima puluh ribu tahun (QS. 70:4). Karena itu aliran skala waktu dalam penjelasan Al-Quran mengenai asal—dan juga sejarah—kosmos didasarkan pada konsep kualitatif waktu. Walaupun riwayat ini memiliki kemiripan tertentu dengan penjelasan Bibel tentang penciptaan, tetapi pada dasarnya sangat berbeda dari Genesis, dan hal ini dapat menjadi salah satu alasan mengapa belum ada kesejajaran dengan “Bumi muda” dalam tradisi Islam.
Al-Quran tidak menjelaskan bagaimana atau kapan kosmos diciptakan, hal itu sebagai undangan kepada pembacanya untuk mempelajari dunia fisik. Bahkan, undangan Al-Quran untuk mengamati kerja kosmos ini diulang-ulang seolah-olah seperti mendesak kepada pembacanya bahwa budidaya sains modern merupakan sebuah kewajiban agama bagi seorang Muslim—perintah yang ditentukan oleh Al-Quran itu sendiri. Apakah benar atau tidak, pendekatan sederhana ini bukan untuk menjustifikasi tujuan undangan Al-Quran, karena Al-Quran mengajak pembacanya untuk mengamati ketertiban dan keteraturan alam semesta yang hal ini untuk mengekspresikan tujuan dari memahami realitas yang berada di luar dunia fisik. Undangan untuk mengamati alam fisik sering diikuti perintah tegas ketertiban dan keteraturan alam semesta adalah tanda kehadiran satu-satunya Pencipta. Ketertiban kosmos adalah bukti kemahakuasaan, kekuasaan, dan kebijaksanaan Tuhan.
Deskripsi Al-Quran tentang dunia memainkan peran sentral sehingga memunculkan kosmografi yang berbeda dalam pemikiran Islam. Kosmografi ini menggambarkan fitur utama dari kosmos yang dikembangkan melalui sebuah proses kompleks yang melibatkan berbagai aliran pemikiran, termasuk menerjemahkan karya filsafat Yunani ke dalam bahasa Arab, interaksi antara berbagai sekolah pemikiran dalam tradisi filsafat Islam, perdebatan teologis tentang Allah, sifat-sifat-Nya, hubungan-Nya dengan dunia, dan masalah serupa lainnya dari dinamika internal masyarakat Muslim yang banyak muncul sebelum gerakan terjemahan. Isu-isu ini tidak hanya berupa pertanyaan-pertanyaan intelektual yang timbul dari penafsiran Al-Quran tapi juga berdimensi politis, teologis, dan sosial. Perdebatan mengenai pertanyaan-pertanyaan ini memunculkan berbagai sekolah pemikiran yang secara garis besar dapat dibagi menjadi dua sekolah utama: Mu`tazilah dan Asy`ariyah, keduanya tertarik dalam kosmologi dan merumuskan suatu teori yang menyeluruh tentang penciptaan. Secara umum, diakui bahwa alam fisik yang eksis dalam skema besar penciptaan mencakup berbagai tingkat eksistensi, termasuk nonfisik, dan hal ini tidak dapat dipisahkan dari konteks tersebut. Kosmografi sebagaimana gambaran para Sufi bahwa dunia fisik memiliki tingkatan-tingkatan wujud dan eksistensi tertentu.
Kosmografi yang muncul dalam pemikiran Islam setelah gerakan terjemahan didominasi oleh perdebatan atas pertanyaan tentang keabadian dunia atau penciptaannya ex nihilo dalam waktu. Arus utama perdebatan dalam pemikiran Islam mengenai masalah penciptaan dan keabadian terjadi antara filsuf Helenis Muslim dan lawan-lawannya yang disebut para pemikir ortodoks, dan seluruh perdebatan yang muncul telah keluar dari krisis yang dihasilkan oleh gerakan terjemahan. Pada kenyataannya, hal ini jauh lebih bernuansa. Misalnya, secara kosmografi dunia fisik terbagi menjadi daerah celestial dan terrestrial, sama seperti pendapat Aristoteles, tapi hal ini tidak berarti mencakup penerimaan segala hal tentang pemikiran Aristoteles. Bahkan filsuf Islam yang paling Helenis (Ibn Sina dan Ibn Rusyd) telah mengubah konsep kosmos dan keabadiannya dari Aristoteles, meskipun mereka menerima keabadian dunia.
Modifikasi kosmos Aristotelian ini bukan hanya cara yang cerdas dari pengulangan hal yang sama. Misalnya, substansi alam fisik yang sebenarnya, dipahami oleh Aristoteles sebagai “materi” dari sebuah abstraksi yang hanya bisa dicapai melalui eksperimen pikiran. Dalam buku Metaphysics, dia menyatakan bahwa substansi adalah “yang tidak didasarkan kepada subjek, tapi semua didasarkan atasnya”. Pernyataannya itu sendiri tidak jelas, dan
selanjutnya pada pandangan ini, materi menjadi substansi. Karena jika hal ini tidak menjadi substansi, maka kita akan mengalami kesulitan untuk mengatakan apa yang selain itu. Ketika semuanya diambil, jelas yang tersisa hanya materi. Elemen lain berupa rasa, produk, kapasitas tubuh, panjang, luas, dan tinggi; semuanya adalah kuantitas dan bukan substansi. Kuantitas bukanlah substansi; tetapi substansi merupakan derajat utama atas kandungannya. Ketika sifat panjang, luas, dan tinggi dikeluarkan, tidak ada yang tersisa kecuali yang dibatasi oleh hal tersebut, apa pun bisa; dengan demikian materi sendiri yang menjadi substansi. Adapun materi yang saya maksud adalah kandungannya sendiri di luar yang lain, bukan dalam hal tertentu atau bukan jumlah tertentu atau bukan kategori yang ditentukan oleh yang lain. (Aristoteles, 1984:1625)
Deskripsi ini diserang sejak pertengahan kedua pada abad kedelapan. Misalnya, Jabir bin Hayyan menyatakan konsepsi materi ini hanya “omong kosong”, ada keraguan dalam tradisi Plotinus, dia menyebutnya “bayangan hanya atas bayangan”:
[Anda percaya] itu bukan tubuh, tidak ada predikat apa pun yang didasarkan kepada tubuh. Hal ini sebagaimana klaim Anda, bentuk sesuatu tidak dibeda-bedakan dan elemen dari objek yang diciptakan. Sebagaimana Anda katakan, gambaran ini [entitas], hanya eksis dalam imajinasi dan tidak mungkin memvisualisasikannya sebagaimana entitas didefinisikan. Semua ini adalah omong kosong. (Haq, 1994:53)
Demikian pula mengenai materi prima-nya Aristoteles yang dianggap kekal dan tidak dapat dihancurkan, tidak diterima dalam tradisi Islam oleh mayoritas filsuf-ilmuwan. Bahkan, pada pengamatan yang lebih seksama kita menemukan banyak kesamaan antara tradisi kosmologi Aristotelian dan skema kosmologis Islam tetapi tidak mendasar; sebenarnya ada perbedaan yang mendalam di antara ide-ide mendasar dari dua tradisi ini. Seperti terlihat sebelumnya, para filsuf yang menerima keabadian dunia menurut Aristoteles tetapi tidak menerima sistem Aristotelian secara totalitas, melainkan mereka membuat skema konseptual yang sama sekali baru. Pada kasus ini, Ibnu Sina dapat dijadikan contoh. Kita akan membahas ide-idenya bersama dengan penolakan terhadap Aristotelian oleh para ilmuwan lain dalam pembahasan khusus.
Justifikasi adanya ‘pertempuran’ habis-habisan antara filsuf dan teolog melemah, karena meskipun banyak filsuf Muslim percaya pada kekekalan dunia ini (pengaruh Aristoteles) ada juga pengecualian. Al-Kindi—yang secara universal diakui sebagai filsuf Muslim pertama—menolak keabadian materi dan alam semesta, meskipun di pikirannya ada pengaruh dari Aristoteles dan Plotinus. Dalam risalahnya yang berjudul On First Philosophy, Al-Kindi menggunakan kata ibda` (yang berarti “memulai sesuatu dari ketiadaan”) untuk menunjukkan penciptaan ex nihilo. Al-Kindi juga mengembangkan tiga argumen mengenai penciptaan alam semesta: (i) argumen mengenai ruang, waktu, dan gerak; (ii) argumen mengenai komposisi, dan (iii) argumen mengenai waktu (Craig, 1979:56).
Sumber : Click Sumber
Kosmologi, Kosmogoni, dan Kosmografi
Tidak ada cabang dari sains yang memiliki hubungan secara langsung dengan kepercayaan agama selain kosmologi—ilmu
yang berhubungan dengan asal-usul dan pengembangan alam semesta. Namun,
adanya hubungan langsung itu sendiri masih membingungkan. Apa yang
dimaksud dengan kosmologi pada saat ini seluruhnya berbeda dengan yang
dimaksud pada abad kedelapan. Penggunaan istilah yang serupa dalam wacana sains, filsafat, dan agama juga menambah kebingungan. Sebagai contoh, apa yang dimaksud Aristoteles dengan celestial region tidak sama menurut pendapat para Sufi, meskipun keduanya menggunakan istilah celestial untuk menunjukkan wilayah di luar zona terrestrial. Celestial region menurut para Sufi dihuni oleh entitas tertentu yang memiliki karakteristik tertentu, pendapat ini sangat berbeda dengan Aristoteles. Kosmologi, tentu saja mengalami perkembangan secara filosofi selama periode Yunani, tradisi ilmiah Islam, dan bahkan sampai sekarang. Banyak data eksperimental telah ditemukan yang menjadi fondasi langsung pada pertanyaan tentang asal-usul kosmos, utamanya secara teoritis.
Kepercayaan kosmologis Islam berakar kepada Al-Quran yang berurusan secara ekstensif dengan masalah ini. Jadi, pertanyaan utamanya adalah bagaimana pemahaman mufassir, filsuf, dan ilmuwan selama periode tersebut (abad kedelapan sampai enam belas) terhadap ayat-ayat kosmologis yang disebut Al-Quran. Perdebatan muncul karena adanya ketegangan ketika masuknya kosmologi Aristotelian ke dalam tradisi Islam yang selanjutnya menghasilkan doktrin kosmologis tertentu.
Seperti telah dikemukakan sebelumnya, Al-Quran memperlakukan seluruh apa yang diciptakan sebagai tanda (sign), ayat. Hal ini termasuk alam semesta dan semua yang ada di dalamnya. Menurut definisinya, ayat merujuk kepada sesuatu selain dirinya sendiri. Dengan demikian, jika dilihat dari perspektif Al-Quran, alam semesta dan semua yang ada di dalamnya merupakan tanda-tanda Sang Pencipta yang diciptakan melalui perintah sederhana: Jadilah (be, kun) (QS. 36:82). Meskipun Al-Quran memberikan penjelasan yang sangat spesifik mengenai penciptaan kosmos, ia tidak memberitahu kita dengan apa dibuatnya atau kapan. Selain itu, penting untuk diingat bahwa alam semesta menurut Al-Quran bukan hanya materi fisik yang terdiri dari bintang-bintang, planet dan entitas fisik lainnya; tetapi juga mencakup kosmos spiritual yang dihuni oleh entitas nonfisik. Kosmos nonfisik itu terdiri dari tingkat-tingkat eksistensi yang tak terhitung dan jauh lebih unggul dari alam fisik yang menempati posisi relatif rendah dalam tingkat eksistensi.
Dalam perspektif Al-Quran tentang penciptaan alam fisik dapat diringkas sebagai berikut: alam semesta diciptakan Tuhan untuk suatu tujuan. Setelah menciptakan alam semesta dan semua yang terkandung di dalamnya, Tuhan tidak meninggalkannya; karena kenyataannya seluruh ciptaan selalu membutuhkan Tuhan; tanpa cinta-Nya kosmos tidak bisa eksis. Pada saat sebelum mewujudnya suatu momen, kepastian pengetahuan tetap berada pada Tuhan. Segala sesuatu yang ada di dunia akan binasa. Hal ini akan diikuti dengan kebangkitan dan kehidupan jenis baru di bawah seperangkat hukum yang sama sekali baru.
Secara umum, penciptaan dan akhir dari kosmos dapat ditemukan di ayat-ayat yang dilengkapi dengan rincian spesifik yang tersebar di seluruh Al-Quran. Alam semesta diciptakan dalam enam hari (QS. 7:54-56; 25:59), penciptaan bumi dalam dua masa (QS. 41:9), Tuhan juga menciptakan tujuh langit (QS. 2:29), tujuh langit yang berlapis-lapis (QS. 67:3). Tuhan menghiasi langit dengan bintang-bintang (QS. 67:5); Dia yang menggerakkan semua bintang dan planet-planet sehingga dapat membimbing perjalanan manusia dengan posisi mereka (QS. 6:97); Dia menutupkan malam atas siang dan menutupkan siang atas malam (QS. 39:5). Sangat penting untuk dicatat bahwa kata “hari” yang digunakan dalam ayat-ayat ini dalam tradisi Islam selalu dipahami secara non-kuantitatif. Al-Quran itu sendiri menjelaskan bahwa sehari disisi Tuhan adalah seperti seribu tahun menurut perhitunganmu (QS. 22:47). Dalam ayat lain disebutkan satu hari yang kadarnya adalah lima puluh ribu tahun (QS. 70:4). Karena itu aliran skala waktu dalam penjelasan Al-Quran mengenai asal—dan juga sejarah—kosmos didasarkan pada konsep kualitatif waktu. Walaupun riwayat ini memiliki kemiripan tertentu dengan penjelasan Bibel tentang penciptaan, tetapi pada dasarnya sangat berbeda dari Genesis, dan hal ini dapat menjadi salah satu alasan mengapa belum ada kesejajaran dengan “Bumi muda” dalam tradisi Islam.
Al-Quran tidak menjelaskan bagaimana atau kapan kosmos diciptakan, hal itu sebagai undangan kepada pembacanya untuk mempelajari dunia fisik. Bahkan, undangan Al-Quran untuk mengamati kerja kosmos ini diulang-ulang seolah-olah seperti mendesak kepada pembacanya bahwa budidaya sains modern merupakan sebuah kewajiban agama bagi seorang Muslim—perintah yang ditentukan oleh Al-Quran itu sendiri. Apakah benar atau tidak, pendekatan sederhana ini bukan untuk menjustifikasi tujuan undangan Al-Quran, karena Al-Quran mengajak pembacanya untuk mengamati ketertiban dan keteraturan alam semesta yang hal ini untuk mengekspresikan tujuan dari memahami realitas yang berada di luar dunia fisik. Undangan untuk mengamati alam fisik sering diikuti perintah tegas ketertiban dan keteraturan alam semesta adalah tanda kehadiran satu-satunya Pencipta. Ketertiban kosmos adalah bukti kemahakuasaan, kekuasaan, dan kebijaksanaan Tuhan.
Deskripsi Al-Quran tentang dunia memainkan peran sentral sehingga memunculkan kosmografi yang berbeda dalam pemikiran Islam. Kosmografi ini menggambarkan fitur utama dari kosmos yang dikembangkan melalui sebuah proses kompleks yang melibatkan berbagai aliran pemikiran, termasuk menerjemahkan karya filsafat Yunani ke dalam bahasa Arab, interaksi antara berbagai sekolah pemikiran dalam tradisi filsafat Islam, perdebatan teologis tentang Allah, sifat-sifat-Nya, hubungan-Nya dengan dunia, dan masalah serupa lainnya dari dinamika internal masyarakat Muslim yang banyak muncul sebelum gerakan terjemahan. Isu-isu ini tidak hanya berupa pertanyaan-pertanyaan intelektual yang timbul dari penafsiran Al-Quran tapi juga berdimensi politis, teologis, dan sosial. Perdebatan mengenai pertanyaan-pertanyaan ini memunculkan berbagai sekolah pemikiran yang secara garis besar dapat dibagi menjadi dua sekolah utama: Mu`tazilah dan Asy`ariyah, keduanya tertarik dalam kosmologi dan merumuskan suatu teori yang menyeluruh tentang penciptaan. Secara umum, diakui bahwa alam fisik yang eksis dalam skema besar penciptaan mencakup berbagai tingkat eksistensi, termasuk nonfisik, dan hal ini tidak dapat dipisahkan dari konteks tersebut. Kosmografi sebagaimana gambaran para Sufi bahwa dunia fisik memiliki tingkatan-tingkatan wujud dan eksistensi tertentu.
Kosmografi yang muncul dalam pemikiran Islam setelah gerakan terjemahan didominasi oleh perdebatan atas pertanyaan tentang keabadian dunia atau penciptaannya ex nihilo dalam waktu. Arus utama perdebatan dalam pemikiran Islam mengenai masalah penciptaan dan keabadian terjadi antara filsuf Helenis Muslim dan lawan-lawannya yang disebut para pemikir ortodoks, dan seluruh perdebatan yang muncul telah keluar dari krisis yang dihasilkan oleh gerakan terjemahan. Pada kenyataannya, hal ini jauh lebih bernuansa. Misalnya, secara kosmografi dunia fisik terbagi menjadi daerah celestial dan terrestrial, sama seperti pendapat Aristoteles, tapi hal ini tidak berarti mencakup penerimaan segala hal tentang pemikiran Aristoteles. Bahkan filsuf Islam yang paling Helenis (Ibn Sina dan Ibn Rusyd) telah mengubah konsep kosmos dan keabadiannya dari Aristoteles, meskipun mereka menerima keabadian dunia.
Modifikasi kosmos Aristotelian ini bukan hanya cara yang cerdas dari pengulangan hal yang sama. Misalnya, substansi alam fisik yang sebenarnya, dipahami oleh Aristoteles sebagai “materi” dari sebuah abstraksi yang hanya bisa dicapai melalui eksperimen pikiran. Dalam buku Metaphysics, dia menyatakan bahwa substansi adalah “yang tidak didasarkan kepada subjek, tapi semua didasarkan atasnya”. Pernyataannya itu sendiri tidak jelas, dan
selanjutnya pada pandangan ini, materi menjadi substansi. Karena jika hal ini tidak menjadi substansi, maka kita akan mengalami kesulitan untuk mengatakan apa yang selain itu. Ketika semuanya diambil, jelas yang tersisa hanya materi. Elemen lain berupa rasa, produk, kapasitas tubuh, panjang, luas, dan tinggi; semuanya adalah kuantitas dan bukan substansi. Kuantitas bukanlah substansi; tetapi substansi merupakan derajat utama atas kandungannya. Ketika sifat panjang, luas, dan tinggi dikeluarkan, tidak ada yang tersisa kecuali yang dibatasi oleh hal tersebut, apa pun bisa; dengan demikian materi sendiri yang menjadi substansi. Adapun materi yang saya maksud adalah kandungannya sendiri di luar yang lain, bukan dalam hal tertentu atau bukan jumlah tertentu atau bukan kategori yang ditentukan oleh yang lain. (Aristoteles, 1984:1625)
Deskripsi ini diserang sejak pertengahan kedua pada abad kedelapan. Misalnya, Jabir bin Hayyan menyatakan konsepsi materi ini hanya “omong kosong”, ada keraguan dalam tradisi Plotinus, dia menyebutnya “bayangan hanya atas bayangan”:
[Anda percaya] itu bukan tubuh, tidak ada predikat apa pun yang didasarkan kepada tubuh. Hal ini sebagaimana klaim Anda, bentuk sesuatu tidak dibeda-bedakan dan elemen dari objek yang diciptakan. Sebagaimana Anda katakan, gambaran ini [entitas], hanya eksis dalam imajinasi dan tidak mungkin memvisualisasikannya sebagaimana entitas didefinisikan. Semua ini adalah omong kosong. (Haq, 1994:53)
Demikian pula mengenai materi prima-nya Aristoteles yang dianggap kekal dan tidak dapat dihancurkan, tidak diterima dalam tradisi Islam oleh mayoritas filsuf-ilmuwan. Bahkan, pada pengamatan yang lebih seksama kita menemukan banyak kesamaan antara tradisi kosmologi Aristotelian dan skema kosmologis Islam tetapi tidak mendasar; sebenarnya ada perbedaan yang mendalam di antara ide-ide mendasar dari dua tradisi ini. Seperti terlihat sebelumnya, para filsuf yang menerima keabadian dunia menurut Aristoteles tetapi tidak menerima sistem Aristotelian secara totalitas, melainkan mereka membuat skema konseptual yang sama sekali baru. Pada kasus ini, Ibnu Sina dapat dijadikan contoh. Kita akan membahas ide-idenya bersama dengan penolakan terhadap Aristotelian oleh para ilmuwan lain dalam pembahasan khusus.
Justifikasi adanya ‘pertempuran’ habis-habisan antara filsuf dan teolog melemah, karena meskipun banyak filsuf Muslim percaya pada kekekalan dunia ini (pengaruh Aristoteles) ada juga pengecualian. Al-Kindi—yang secara universal diakui sebagai filsuf Muslim pertama—menolak keabadian materi dan alam semesta, meskipun di pikirannya ada pengaruh dari Aristoteles dan Plotinus. Dalam risalahnya yang berjudul On First Philosophy, Al-Kindi menggunakan kata ibda` (yang berarti “memulai sesuatu dari ketiadaan”) untuk menunjukkan penciptaan ex nihilo. Al-Kindi juga mengembangkan tiga argumen mengenai penciptaan alam semesta: (i) argumen mengenai ruang, waktu, dan gerak; (ii) argumen mengenai komposisi, dan (iii) argumen mengenai waktu (Craig, 1979:56).
Sumber : Click Sumber
0 komentar:
Posting Komentar