Saat ini, sejumlah negara telah
mengalami kemajuan yang pesat dengan bertumpu pada potensi ekonomi, militer dan
politik yang dimilikinya. Mayoritas masyarakat dunia pun memuji kemajuan yang
dicapai oleh sains dan teknologi modern. Banyak kalangan percaya, dengan
semakin besarnya kemajuan yang dicapai sains, maka kekuasaan dan kekuatan pun
akan semakin membesar. Bersandar pada keyakinan semacam itu, sebagian percaya
bahwa umat Islam mesti sebisa mungkin mengikuti jejak kemajuan teknologi yang
dicapai Barat, memproduksi beragam mesin dan perangkat modern seperti yang
dihasilkan Barat.
Namun, sebagian ilmuan percaya bahwa
anggapan semacam itu justru membahayakan. Pasalnya, meski Barat telah mengalami
kemajuan di bidang sains dan teknologi, namun mereka terjerat pelbagai
persoalan dan krisis akut seperti krisis moral, runtuhnya spritualitas,
hilangnya jatidiri, rusaknya lingkungan hidup, dan sejumlah permasalahan pelik
lainnya. Akibat ketamakan dan rakusnya para penguasa, kehadiran teknologi
modern malah meruntuhkan ikatan dan posisi manusia pada skala yang amat luas.
Oleh karena itu, seandainya umat Islam menginginkan model hidup ala abad 21
dengan cara mengikuti Barat secara buta, maka sejatinya mereka telah menempuh
jalan yang salah.
Dr. Sayyed Hossein Nasr, peneliti
Muslim dan dosen di sejumlah universitas AS, menawarkan alternatif lainnya.
Umat Islam selayaknya melihat alternatif lain, dengan cara merekonstruksi,
mengkritik dan mengkaji ulang beragam sisi sains modern. Menurutnya, “Kini,
pada saat umat Islam siap meraih kembali sains dan manfaat ilmu pengetahuan
modern, dari segi ilmiah, umat Islam harus meyakini bahwa setiap kemajuan yang
dicapai Barat bukan berarti suatu hal yang baik, mereka tidak boleh meniru
begitu saja apa yang terjadi di Barat. Dari segi teoritis, umat Islam juga
harus menguasai sains modern, namun pengusaan itu harus didasari dengan sikap
kritis, dan berdasarkan tradisi pemikiran Islam. Kita wajib mengkritik
peradaban Barat, dan kita harus menyadarkan umat Islam dari efek negatif
peradaban mekanis. Di sisi lain, kita juga harus memperkuat institusi ilmiah
dan lembaga tradisional pendidikan Islam”.
Dunia Islam memiliki potensi yang
amat besar, dan mereka memiliki latar belakang yang cerah dalam mengembangkan
beragam ilmu pengetahuan. Karena itu, apabila saat ini mereka menghidupkan
kembali ilmu pengatahuan, dengan metode pendidikan yang mereka miliki, dan
memadukannya dengan kemuliaan moral, maka sembari bertumpu pada kreatifitas dan
inovasi, mereka akan mampu bersaing secara sehat dengan sains dan teknologi
modern. Dr. Nasr menuturkan, “Ini tak lain adalah apa yang harus dilakukan
dunia Islam, mulai dari sekolah-sekolah Malaysia, di timur dunia Islam, hingga
ke Maroko di sebelah baratnya. Harus ada pendirian pelbagai universitas dengan
identitas Islam. Sebuah universitas, yang memandang seluruh temanya dengan perspektif
Islam. Kini, sudah banyak upaya pemikiran yang telah dilakukan.”
Dr Nasr melanjutkan, “Para ilmuwan
muslim sudah banyak menerjemahkan dan menafsirkan beberapa buku penting tentang
pengetahuan Islam ke berbagai bahasa Barat dan Eropa. Tulisan-tulisan semacam
itu, seperti halnya pada beberapa dekade sebelumnya, sekarang ini tidak
sedikit. Namun masalah utamanya adalah, sedikitnya pusat-pusat atau tempat yang
bisa mengajarkan hal itu kepada mahasiswa dengan metode Islam. Lembaga-lembaga
semacam itu, harus mengajarkan disiplin ilmu seperti filsafat, logika, teologi
dan sejumlah tema lain yang terkait dengan itu. Dan para muslim yang berpikiran
cerah, dengan tingkat pendidikan tinggi bisa hadir di situ. Kini, pendidikan
Islam di Barat harus berubah dari unit kecil menjadi unit yang besar, dan bisa
mendidik tenaga yang unggul dan berkualitas.”
Pada kondisi saat ini, dunia Islam
tengah berhadapan dengan beragam persoalan rumit dan pelik. Di negara-negara
Islam, sebagian kekayaan nasionalnya berada di bawah kendali pemerintah, dan
sebagian mereka tidak begitu banyak menginvestasikannya untuk kemajuan dan
pengembangan ilmu pengetahuan. Namun demikian, kita masih bisa berharap, bahwa
di antara sejumlah negara itu, ada juga pilihan yang positif yang telah mengalami
keberhasilan. Seperti Iran, Indonesia, Malaysia dan Pakistan.
Khususnya lagi di Iran, di mana ada
beberapa universitas yang dikelola oleh para pakar agama. Itu semua, merupakan
pusat pendidikan di mana ilmu pengetahuan Islam diajarkan bersamaan dengan ilmu
pengetahuan modern, bahasa asing dan sejumlah disiplin ilmu yang kerap
diajarkan di institusi pendidikan Barat. Sebagai contoh, di kota Qom, Iran,
terdapat beberapa universitas terpercaya yang memiliki karakteristik seperti
itu, dan banyak mahasiswa muda dan berbakat belajar di sana.
Dengan demikian, kendati sejumlah
peristiwa pahit sejarah, telah menghambat proses kemajuan ilmu pengetahuan yang
dicapai oleh umat Islam, namun bukan berarti hal itu juga telah meruntuhkan
seluruh dimensi peradaban Islam. Kesenian Islam, adalah salah satu bagian
penting peradaban Islam. Seni tenun kain, sempat mengalami kemajuan belakangan
ini. Banyak karpet terindah Iran rajutan abad ke-19 yang menjadi salah satu
karya adiluhung seni Islam. Begitupula dengan arsitektur Islam. Taj Mahal,
Masjid Esfahan, dan Masjid Soltan Ahmad Istanbul merupakan contoh dari
keajaiban seni arsitektur Islam. Bahkan di bidang rasionalitas, umat Islam pada
abad 19 telah menghidupkan kembali filsafat Islam. Pada abad ke-20, dengan
munculnya Allamah Thabathabai di Iran, filsafat Islam berkembang dan meraih
kejayaannya kembali.
Dr. Nasr menuturkan, “Untuk menilai
dan mengapresiasi sebuah peradaban, keliru jika kita menganggap mundurnya
sebuah peradaban sama dengan kematiannya. Peradaban Islam memiliki minat yang
jauh lebih besar kepada ilmu pengatahuan dibanding dengan peradaban lainnya
yang kita kenal, seperti peradaban Barat. Semenjak masa-masa awalnya, peradaban
ini telah berjalan dengan aktifitas ilmiah yang pesat. Misalnya saja, Jabir bin
Hayyan yang hidup pada abad ke-2 Hijriah. Sebelum Jabir, kimia masih belum
diakui sebagai disiplin ilmu. Pada abad ke-9 dan ke-10 Masehi, muncul para
matematikawan dan astronom besar, serta sejumlah ilmuan semacam Ibnu Sina, dan
Biruni di pentas ilmu pengetahuan.”
Dr Nasr melanjutkan, “Sekarang,
hanya empat abad semenjak masa Galileo Galilei berlalu, Barat menunjukkan minat
besarnya kepada ilmu pengetahuan dan menjadikannya sebagai pusat perhatian.
Oleh karena itu, apabila kaum muslimin bisa membuat buku katalog ilmu
pengetahuan islam, dan beruntung hal itu telah dimulai dalam beberapa tahun
belakangan ini, berarti umat Islam telah mengambil langkah besar ke arah
penilaian atas ilmu-ilmu pengetahuan Islam.”
Masih menurut Dr. Nasr, “Untuk
mengembangkan ilmu pengetahuan, sungguh sebuah perkataan yang polos, jika kita
katakan teknologi modern itu bebas nilai dan tidak berbahaya. Teknologi dalam
modelnya sekarang ini, telah mengancam sebagian ruang spiritual yang berada di
dalam dan luar wujud manusia. Teknologi Barat, menyodorkan sebuah pandangan
dunia khas, yang telah mengubah dimensi kemanusiaan menjadi seperangkat mesin.
Gerakan menuju kekuasaan dan senjata pemusnah, tidak akan pernah bisa sejalan
dengan jiwa agama Islam. Karenanya, umat Islam harus lebih berhati-hati lagi
dengan efek ilmu pengetahuan yang disebarkan Barat, dan mengkritisi dampak
buruk yang dihasilkannya. Apabila umat Islam berhasil mendidik para filosof dan
ilmuwan dengan pengetahuan yang berakar pada ajaran sejati Islam, itu adalah
sebuah hal yang cukup bagi umat Islam. Sebab, bila itu berhasil dilakukan,
mereka akan mampu mengembangkan dan memajukan ilmu pengetahuan di era baru.”
Sumber : Click
Sumber : Click
0 komentar:
Posting Komentar