Share this history on :

Sabtu, 13 Oktober 2012

1 Membaca Pemikiran Pervez Hoodbhoy Dan Ziauddin Sadar


Jangan Lupa Tinggalkan Komentar Kalian Ya...!!!

Masalah sains dan agama hingga saat ini masih mengundang perhatian dikalangan saintis dan agamawan. Hal ini tak lepas bagaimana mereka memandang kelahiran sains itu sendiri. Pihak sains, khususnya yang sekuler, memandang bahwa kelahiran sains sepenuhnya lepas dari agama. Sains murni lahir dari pemikiran rasional, bersifat obyektif, tidak ada doktrin agama yang mengilhami permulaan penyelidikan mereka (baca: agama). Bahkan mereka menampik jika agama adalah mengatur semua sendi kehidupan alam semesta. Baginya agama hanyalah sarana yang mengatur hubungan moral ketuhanan/ filsafatlah dinilai sebagai sumber bagi ilmu-ilmu yang lain.

Mengapa mereka mengatakan filsafat menjadi pioner bagi ilmu-ilmu yang lain? Alasannya karena orang-oang filsafat dalam mencari kebenaran berangkat dari sikap penasaran akan kebenaran. Sehingga dalam penelusurannya itu mereka bebas dari doktrin-doktrin tertentu. Sedangkan agama, untuk mengimani sesuatu harus percaya dahulu, baru kebenaran itu diungkap. Dengan kata lain, agama itu mengajarkan: imani baru buktikan!
Terlepas dari pemikiran kaum saintis, pihak agamawan mengklaim bahwa keberhasilan sains yang meroket seperti sekarang ini tidak lain karena terinspirasi dari ajaran agama. Seperti yang dikatakan oleh Maurice Bucaille, ³ semua itu mendorong diriku untuk bertanya-tanya; jika pengarang Al-Qur’an itu seorang manusia, mengapa pada abad ke-7 masehi, orang itu menulis hal-hal yang terbukti cocok dengan sains modern (The Bible, The Koran and Science, p. 144). Pandangan Bucaille ini menengahkan bahwa sains dan teknologi berawal dari ilham (ajaran) agama.
Bagi orang islam semua kelahiran ilmu tak lepas dari agama. Agama menjadi sumber inspirasi dan memotivasi untuk mencari ilmu, mengeksplorasi alam semesta. Al-Qur’an bukanlah kitab teori yang menyajikan secara detail mengenai keberadaan ciptaan Tuhan, sebagaimana yang diungkapkan adlam salah satu ayat bahwa seandainya nikmat Tuhan itu ditulis dengan air samudera dan daun yang ada takkan habis ditulis meskipun ditambah semisal lagi. Alquran sumber inspirasi, ibaratnya bahan mentah dengan akal manusia bahan mentah bisa dibentuk berbagai macam bentuk.
Inspirasi ajaran agama mengenai sains juga mendorong kaun terdahulu untuk menjelaskan asal-usul alam semesta ini meskipun terkesan aneh dan berbau mistis seperti yang dikemukakan oleh para filsuf islam, diantaranya Ibn Arabi, membentangkan pula proses kejadian ini dengan menyatakan bahwa manifestasi dari Tuhan yang pertama adalah awan (al ama al haba) yang juga digambarkannya sebagai nafas Tuhan yang berada di pangkuanNya sebelum dijadikan. Awan ini belum nyata akan tetapi juga tidak ³tak ada´ perlu diingat bahwa terdapat suatu keadaan di antara ³ada´ dengan ³tak ada´, yakni suasana dari kemungkinan untuk ada semesta.
Awan ini dianggap sebagai suatu asas yang pasif pada waktu tuhan menyelenggarakan ciptaanNya, sedangkan Nur Ilahi yang memancar dari Tuhan adalah asas aktif. Karena adanya persenyawaan antara asas pasif dengan asas aktif, terjadilah semua kenyataan yang tersebar di dalam semesta alam. Betapa banyaknya jenis-jenis dari bentuk-bentuk yang tampak; semua itu asalnya satu ialah dari zat yang satu itu.
Pancaran (emanasi) yang pertama ini disebut µintelek pertama´ (al akl awwal), sama dengan ³pena´ (qalam); juga hakikat muhammadiyyah (hakikat yang terpuji). Kepadanya oleh Tuhan dituangkan semua pengetahuan mengenai semua keadaan yang akan dijadikan; juga nama-nama para malaikat yang akan membantu menyelesaikan ciptaan Allah.
Dari emanasi pertama tumbuh emanasi kedua: ini merupakan roh semata yang digambarkan sebagai batu tulis yang mulia (al-lauh al-mahfudz). Di atas batu tulis ini ³pena´ atau ³intelek pertama´ tadi menuliskan semua yang diberitahukan kepadanya oleh Tuhan semua yang tertulis ini adalah emanasi ketiga, yakni alam.
Semua ini terjadi di dalam suasana cahaya yang cemerlang, akan tetapi pada waktu kejadian ini turun dalam beberapa tingkatan, maka semua kejadian itu bercampur dengan kegelapan dari yang ³tak ada´, dengan demikian tercapailah berturut-turut ³benda semesta´ (universeel materie) dan ³jasmani semesta´ (universeel licham) atau ³singgasana Tuhan´, yang boleh dipandang sebagai sesuatau yang pertama terjadi di dalam dunia keadaan, kemudianalkursi, dan di dalamnya beberapa daerah: daerah bintang, daerah planet, daerah empat anasir, aakhirnya daerah pelikan-pelikan, tumbuhhan, hewan, dan manusia.

Meskipun kelahiran sains para pemikir terdahulu berangkat dari ³sifat mengada-ada´ atau berfilsafat akan tetapi itu semua merupakan sebagai ³batu loncatan´ untuk mengembangkan pemikiran ilmuwan selanjutnya. Generasi ilmuwan beriukutnya merasa tertantang untuk membuktikan ³pemikiran saintis terdahulu´. Meraka tidak ingin berfilsafat tetapi ingin menemukan kebenaran (wujud nyata) dari filosof tadi. Dirancanglah berbagai macam alat untuk menguji coba hipotesa-hipotesa yang telah dilontarkan. Dengan semangat yang menggebu untuk mengngkap hipotesa maka lahirlah ilmuwan-ilmuwan yang religious seperti, Jabir al-Hayyan, Al-Haytam, Al-Kwarismi dan masih banyak lagi.
Semangat melhirkan sains adalah effect dai agama-agama. Spirit agama dan sains seiring sejalan. Kalaupun ada yang mengatakan bahwa agama menjadi sumber pengkerdilan sains juga tak bisa ditampik. Sebaliknya, agamawan menuduh sains cenderung menyebabkan sifat ingkar terhadap ajaran agama. Saling tuduh menuduh ini bisa dilihat sepanjang sejarah. Di kalangan kristiani, kita mengenal Galileo yang telah menemukan teropong dan mengemukakan, bahwa bumilah yang mengitari matahari, bukan sebaliknya. Pernyataan Galileo ini mendapat tantangan keras dari kalangan gereja. Akibatnya, Galileo harus mencabut pernyataan dan dipenjara.
Perbedaan pandangan antara kaum agama dengan saintis, seperti yang dialami Halley dan rohaniwan serta teolog pada abad pertengahan. Pihak gereja yakin bahwa komet adalah bola api yang dilemparkan oleh Tuhan yang sedang marah kepada dunia yang jahat. Sedangkan Halley meyakini bahwa komet adalah fenomena alam dengan menggunakan teori Keppler dan Newton, Halley meramalkan bahwa komet tersebut akan terlihat lagi di titik tertentu di langit. Hal ini terbukti meskipun Halley dan Newton telah wafat.
Kasus pertentangan sains dan agamawan juga terjadi di kalangan islam. Meskipun sebelumnya kalangan islam sendiri pernah muncul ilmuwan-ilmuwan akan tetapi pada akhirakhir abad pertengahan ilmuwan islam cenderung menurun. Seperti pertentangan antara Ibnu Rusyid dan Imam Ghazali. Al-Ghazali dalam bukunya Tahafut Al-Falsifah mengoreksi kerangka berpikir para filsuf. Setidaknya ada dua puluh kerancuan,menurut Al-Ghazali, berpikir, yaitu:
Pertama, penolakan terhadap keyakinan para filsuf terhadap eternitas (azaliyah) alam. Kedua, penolakan terhadap keyakinan para filsuf terhadap keabadian (abadiyah) alam. Ketiga, penolakan kaum filsuf yang tidak fair bahwa Allah adalah pencipta, dan bahwasannya alam adalah produk ciptaannya. Keempat, ketidakmampuan para filsuf untuk mengafirmasi pencipta. Kelima, ketidakmampuan para filsuf untuk membuktikan ketidakmungkinan adanya dua tuhan melalui suatu agumen rasional.Keenam, penolakan terhadap sifat-sifat Tuhan. Ketujuh, penolakan terhadap teori filsuf bahwa dzat Tuhan tidak bisa dibagi dalam genus (jins) dan deferensia (fushl). Kedelapan, penolakan terhadap teori para filsuf bahwa prinsip yang pertama (The First Principle) adalah suatu sederhaa total (maujud basith bil mahiyah). Kesembilan, ketidakmampuan para filsuf untuk menunjukkan bahwa prinsip yang pertama adalah bukan benda. Kesepuluh, tesis bahwa para filsuf lazim untuk mengafirmasi para filsuf untuk menyatukan adanya pencipta.
Kesebelas, ketidakmampuan para filsuf untuk menyatakan bahwa prinsip yang pertama mengetahui seseorang selain dirinya sendiri (ya’lam ghoiruhu).Kedua belas, ketidakmampuan para filsuf untuk menyatakan bahwa Dia mengetahui diri-Nya sendiri (ya’lam dzatuhu). Ketiga belas, penolakan terhadap ajaran para filsuf bahwa prinsip yang pertama tidak mengetahui halhal yang particular (juz-iyyat). Keempat belas, penolakan terhadap pandangan para filsuf bahwa langit merupakan makhluk hidup yang gerakannya disengaja (bil irodah). Kelima belas, penolakan terhadap ajaran teori para filsuf tentang tujuan gerakan langit. Keenam belas, penolakan terhadap pandangan para filsuf bahwa jiwa-jiwa langit mengetahui hal-hal yang particular. Ketujuh belas, penolakan terhadap keyakinan para filsuf akan kemustahilan terjadinya hal-hal luar biasa (kharq al-µadaat) misalnya, mukjizat. Kedelapan belas, penolakan terhadap keyakinan para filsuf yang menyatakan bahwa jiwa manusia adalah substansi yang eksis dengan sendirinya, dan bukan benda bukan pula sustu aksiden (ardh). Kesembilan belas, penolakan terhadap keyakinan para filsuf akan kemustahilan fananya jiwa-jiwa manusia. Kedua puluh, penolakan terhadap pengingkaran para filsuf akan kebangkitan tubuh-tubuh yang akan diikuti perasaan senang, sakit yang dihasilkan oleh sebab-sebab fisik dan perasaan senang, sakit yang dihasilkan oleh sebab-sebab fisik dari perasaan itu di surga dan neraka.
Rasistensi terhadap sains juga ditunjukka periode sesudah Al-Ghazali, Maryam Jameelah, seorang yahudi Amerika yang masuk Islam, adalah juru bicara jemaat yang paling cakap tentang masalah-masalah sains dan modernitas. Menurut pandangannya, sains modern adalah kejahatan karena sifatnya yang tak mengenal Tuhan. Sains dan teknologi sepenuhnya bergantung pada kumpulan ide-ide dan nilai-nilai yang dihargai oleh angota-anggotanya. Jika akar dari sebuah pohon sudah busuk, maka pohonnya pun akan busuk karena itu buahnya juga busuk. Maryam Jameelah merupakan penyuka romantisme sejarah, dia memandang bahwa masa lalu lebih baik dari pada masa sekarang, modernitas tidak menghasilkan apa-apa pun kecuali kerusakan jiwa. Bahkan dia menjustifikasi sikapnya secara ideologis dengan menyitir hadist yang berbunyi:
³Asiyah menceritkan bahwa Rosulullah SAW berkata: ³siapapun yang menambahkan suatu inovasi baru ke dalam milik kita (Islam) yang bukan bagian darinya, dia akan dikutuk´ (HR. Bukhori-Muslim).
Maulana Abu Ala Maududi, pendiri jemaat e-Islami mengomentari masalah sains dan modernitas. Menurutnya, sedikit pemikiran tentang hakikat perilaku dan pendidikan modern segera memperlihatkan pertentangan mereka dengan hakikat perilaku dan pendidikan islam. Engkau mengajarkan filsafat ke dalam pikiran-pikiran pemuda. Filsafat yang mencoba untuk menerangkan ala semesta tanpa Allah. Engkau ajarkan kepada mereka sains yang meniadakan akal dan menjadi budak dari perasaan panca indera. Engkau ajarkan mereka ekonomi, hukum dan sosiologi yang dalam ruh dan substansi-substansi, berbeda dari ajaran islam. Dan engkau masih mengharapkan mereka untuk memiliki pandangan yang islami.
Sikap mereka sebetulnya bukanlah tanpa sebab. Karena kenyataan di lapangan memang demikian faktanya, sains yang telah dikembangkan menjadi bomerang bagi kita sendiri. Penacapain kemjuan teknologi cenderung digunakan untuk menakut-nakuti individu/ Negara lain, memonopoli, mengeksploitasi alam yang digunakan untuk individu. Kemajuan teknologi ternyata dinikmati segelintir orang dan yang lain menjadi korban. Mereka mengkritik masalah inti dan dasar sains itu sendiri, yakni tujuan awal penemuan sains. Sains dan teknologi tidaklah bebas nilai, tetapi terikat dengan nilai-nilai seperi agama, moral terdiri setempat.
Di sisi lain, melihat sikap dari kalangan pemikir islam yang seolah-olah mencela sains dan teknologi, menyebabkan umat islam yang awam ikut-ikutan dengan sikap mereka, sehingga akhir-akhir ini umat islam lebih tertarik mempelajari ilmu agama (dalam arti sempit) an sich, sedangkan untuk masalah-masalah ilmu sains mereka cenderung copy/paste dari ilmuwan Barat bahkan menolaknya sama sekali. Sebetulnya yang menjadikan hilangnya nilai sains dari nilai agama karena sikap apatis umat agama. Sikap umat beragama seolah-olah mendua, di satu sisi mereka perlu sains, di sisi lain mencela. Sikap antara mencela dan memerlukannya ini tidak diimbangi dengan usaha untuk membuktikan kebenaran Al-Qur’an tentang sains. Yang terjadi sekarang ini sikap yang cenderung Cuma mencocokkan sains dan agama, kita berangkat dari sains ke agama bukan agama ke sains.
Adanya sikap umat islam yang agak sensitive terhadap perkembangan sains, baik yang modern maupun yang klasik menimbulkan pertanyaan-pertanyaan, apakah benar umat islam telah melahirkan ilmu-ilmu sains? Kalaupun umat islam mengklaim bahwa islam (Al-Qur’an) sains juga terkandung di dalamnya, lalu bagaimanakah implementasi mereka dari ajarannya? Apakah ada sains islam? Berbedakah dengan sains modern? Apakah parameter sains islam itu sendiri?
Berangkat dari pernyataan itu, penulis ingin mengungkapkan pandangan dua pemikir islam yakni, Perves Hoodbhy dan Ziauddin Sardar, tentunya, dari sudut pandang yang berbeda pula.
Pervez Hoodbhy
Adalah seorang fisikawan terkemuka dari Universitas Quaid-i-Azzam, Islamabad, Pakistan. Lahir pada tahu 1950, serta memperoleh gelar B. Sc (tehnik Elektro), B. Sc (matematika), M Sc (fisika benda padat) dan Ph. D (fisika Nuklir) dari MIT. Banyak penghargaan yang beliau dapatkan dari organisasi di negaranya. Minatnya tidak sebatas pada dunia fisika tetapi mengenai eksposisi popular mengenai sains, pendidikan dan masalah-masalah sosial.
Dalam bukunya ³ Ikhtiar Menegakkan Rasionalitas antara Sains dan Ortodoksi Islam´ (Islam And Science, Religious Orthodoxy And Bettle For Rasionality), mengomentari masalah sains dan islam. Pertama, apakah antara islam dan sains sejalan? Melihat perkembangan awal sejarah Islam (khusus pada masa khlofah bani Umayyah maupun Abbasiyyah) tak dapat disangkal bahwa sains benar-benar ada dalam umat islam. Ini berarti bahwa sains dan islam mempunyai hubungan timbal balik. Islam memberikan spirit terhadap umat islam untuk mendalami segala ilmu pengetahuan. Efeknya, seperti yang dilaporkan tim antropolog dari Mars (begitu beliau menyebutnya), bahwa peradaban yang mempunyai masa depan cerah adalah peradaban Islam dengan Bait al-Hikah, observatorium astronomi, rumah sakit dan Baghdad, pusat intelektual dunia, tempat yang dituju para sarjana dari negeri-negeri yang jauh menampakkan titik terang di muka bumi. Dalam pandangan orang Mars, Ibnu Haytsam dan Omar Khayyam diakui sebagai pelopor ilmuwan modern, pembawa kecerdasan kosmik alam semesta. Sebaliknya, Eropa, dengan paus-paus palsunya, tampak semakin mundur dan biadab, tenggalam dalam kemuraman abad kegelapan.
Masalah kemajuan peradaban tidak bisa lepas dari ideologis dan penafsiran (sikap) dari umat beragama. Abad kegemilangan sains dalam dunia islam juga dipengaruhi oleh ideology yang berkembang pada saat itu. Abad tersebut disinyalir lebih didominasi ideology yang lebih mengedepankan akal dibanding bersandar pada wahyu. Kebenaran mereka dalam mengambil ilmu-ilmu di luar lingkungan mereka seperti ilmu-ilmu yang berasal dari Yunani tidak membuat mereka menjadi kafir atau perbuata mereka dikatakan bid’ah.
Keberanian mereka ini menimbulkan kemajuan ilmu pengetahuan. Meskipun mereka menerjemahkan karya-karya banyak Yunani akan tetapi karya mereka melebihi orang-orang yunani bahkan tidak sama sekali, seperti yang diungkapkan Baron Carra de Vaux penulis bab
‘astronomi dan matematika´ dalam buku The Ideology Of Islam bahwa mereka (orang Islam) menciptakan aljabar dan ilmu pasti, mengembangkannya secara luas dan memberi landasan bagi penemuan trigonometri sferis (Spherical Trigonometry) yang benar-benar tidak ada di kalangan orang-orang Yunani. Dalam bidang astronomi mereka membuat sejumlah observasi yang bernilai.
Kemajuan peradaban umat beragama tergantung keberanian dan sikap maupu ideologis. Meskipun dalam kitab suci sudah berbicara panjang lebar mengenai sendi-sendi ilmu pengetahuan tetapai jika mental kaum elit agamawan terlalu kolot maka akan menjadi stagnan kitab suci tersebut alias semakin sempit makana dan keuniversalan sebagai µrahmatan lil µalamin´
Mungkinkah ada sains islam? Menurut Perves, tidak ada sains islam tentang dunia fisik, dan usaha untuk menciptakan sains islam merupakan pekerjaan yang sia-sia. Alasannya, berdasarkan pada prinsip-prinsip agama, pertama, tidak ada sains islam, semua usaha yang pernah dilakukan untuk menciptakan sains islam telah gagal. Menurutnya, sains islam tidak mempengaruhi pada pembuatan mesin atau instrument sains, sintesis senyawa kimia atau obatobatan yang baru, rncana percobaan baru, atau penemuan hal-hal yang sampai sekarang belum diketahui dengan fakta fisik yang dapat diuji. Malah sebalinya, para pelaku sains islam telah menengahkan penelitian mereka kepada masalah-masalah yang terletak di luar wilayah sains yang umum, misalnya, masalah-masalah yang tidak dapat dibuktikan seperti kecepatan surga, temperature neraka, komposisi kimia jin, rumusan untuk mengukur derajat kemunafikan, penjelasn tentang isro’ mi’roj berdasarkan teori relativitas ( sekarang sudah banyak yang mengkaji antara isro’ mi’roj dengan teori relativitas). Kedua, menjeaskan sekumpulan prinsipprinsip moral dan teologi²berapun tingginya² tidak memungkinkan seseorang menciptakan sains baru dari permulaan. Ketiga, belum pernah ada, dan sampai kini masih belum, definisi islam yang dapat diterima semua kaum muslim.

Ziauddin Sardar
Dilahirkan di Pakistan dan bermukim di inggris. Seorang intelektual muslim yang sering menyoroti masalah social yang berkaitan erat dengan kemajuan teknologi abad modern. Sardar dan afkar (karyanya) yang pernah menjadi fenomena tersendiri dalam intelektualisme pada tahu 1980-an. Sardar dan koleganya melancarkan suatu gerakan yang memadukan sekaligus tradisi intelektualisme dan aktivisme.
Mengenai masalah sains dan teknologi yang berkembang diberbagai belahan dunia. Sardar memberikan koreksi bahwa sains sekarang ini menyimpang dari nilai filsafah keilmuwannya. Sains dan teknologi dikonstruksi hanya untuk memenuhi ambisi individual dan cenderung memojokkan pihak ketiga, dengan kata lain sains dan teknologi sekarang ini lebih bertindak sebagai pemangsa daripada penolong peradaban umat.
Penyebab yang mengaibatkan sains dan teknologi bertindak sebagai µpemangsa´ karena sains dan teknologi tidak dimasuki niai-nilai spritualitas religious. Tidak adanya ³roh agama´ dan bebas nialai mendorong sains dan teknologi digunakan secara serampangan sehingga menyebabkan degradasi multidimensional. Alternatifnya, adalah measukkan nilai-nilai agama sebagai motivasi penemuan sains dan teknologi, sehingga ada rasa tanggung jawab langsung kepada Tuhan.
Apalagi agama diturunkan tidak sebatas sebagai wawasan keagaman, kesalehan pribadi, keyakina-keyakinan dan ritual-ritual seperti yang dipahami kalangan modernis. Islam sebagai agama yang mencangkup segala dimensi kehidupan dinilai tepat untuk ³menyetir´ tujuan sains dan teknologi. Di siniah Islam diperlukan sebagai espitimologis, mengapa? Kerena epistemologis menjadi vital karena ia merupakan operator mayor yang mentransformasikan visi pandangan dunia ke dalam realitas. Epitemologis dan struktur social yang bersifat saling melengkapi satu sama lain. Ketika kita menstruktur ilmu pengetahuan, secara tak sadar sebenarnya kita sedang memanipulasi image masyarakat; ketika kita mengembangkan dan menegakkan struktur-struktur social, politik, sains dan teknologi sebenarnya menggunakan konsepsi kita mengenai ilmu pengetahuan sebagai pedoman . maka dari itu, mengapa konsep islam menganai ilmu pengetahuan, ilmu, begitu sentral bagi perdaban islam. Untuk itu, ketika kita mau menciptakan semata yang baru kita tidak bisa hanya mengacu pada satu disiplin keilmuwan saja, sebagai seorang ilmuwamn hars memiliki kemampuan dan ketrampilan memproses dan mensintesiskan ide dari berbagai keilmuwan, termasuk agama, sehingga epistemology tadi harus benar-benar menciptakan peradaban yang adil, santun dan humanis.
Untuk itu, sardar menuliskan perlunya sains islam, tanpa sains islam, masyarakat muslim hanya akan menjadi dari bagian peradaban barat. Sains yang beroperasi dalam struktur nilai islam memiliki proposisi yang berbeda dibandingkan dengan sains sebagai mana yang dipraktekkan sekarang ini. Sains modern tidak berkepentingan untuk mengejar kebenaran objektif maupun gagasan platonic, tetapi hanya sebagai suatu system pemecahan masalah yang bersifat paradigmatic.
Kita membutuhkan sains islam karena kaum muslim merupakan komunitas yang selalu mewajibkan untuk ³amar ma'ruf nahi munkar´, sekaligs untuk menunjukkan bahwa sains dapat menjadi kekuatan positif di dalam masyarakat. Kita membutuhkan sains islam karena kebutuhankebutuhan, prioritas-prioritas dan perhatian para masyarakat muslim yang berbeda dari apa yang dimiliki oleh peradaban barat. Peradaban tidak akan sempurna tanpa memiliki suatu system objektif untuk memecahkan masalah yang terkerangka sesuai dengan paradigmanya sendiri.
Sains islam agar berperanan dalam kehidupan masyarakat luas, tidak hanya digunakan (diukur) masyarakat islam saja, sudah tentu sains-sains tersebut harus mempunyai parameter- parameter yang bisa diterima secara universal. Sains islam harus didasarkan pada suatu karangka nilai yang merupakan karakteristik-karakteristik dasar kebudayaan islam. Parameter tersebut antara lain: tauhid, khilafah, ibadah, ilm, halal dan haram, adl, zulum, istishlah.
Sumber : Click


1 komentar:

  1. Terima kasih berbagi ilmunya, pencerahan.

    https://oakunambahilmu.wordpress.com/

    BalasHapus