Masalah sains dan agama hingga saat
ini masih mengundang perhatian dikalangan saintis dan agamawan. Hal ini tak
lepas bagaimana mereka memandang kelahiran sains itu sendiri. Pihak sains,
khususnya yang sekuler, memandang bahwa kelahiran sains sepenuhnya lepas dari
agama. Sains murni lahir dari pemikiran rasional, bersifat obyektif, tidak ada
doktrin agama yang mengilhami permulaan penyelidikan mereka (baca: agama).
Bahkan mereka menampik jika agama adalah mengatur semua sendi kehidupan alam
semesta. Baginya agama hanyalah sarana yang mengatur hubungan moral ketuhanan/
filsafatlah dinilai sebagai sumber bagi ilmu-ilmu yang lain.
Mengapa mereka mengatakan filsafat
menjadi pioner bagi ilmu-ilmu yang lain? Alasannya karena orang-oang filsafat
dalam mencari kebenaran berangkat dari sikap penasaran akan kebenaran. Sehingga
dalam penelusurannya itu mereka bebas dari doktrin-doktrin tertentu. Sedangkan
agama, untuk mengimani sesuatu harus percaya dahulu, baru kebenaran itu
diungkap. Dengan kata lain, agama itu mengajarkan: imani baru buktikan!
Terlepas dari pemikiran kaum
saintis, pihak agamawan mengklaim bahwa keberhasilan sains yang meroket seperti
sekarang ini tidak lain karena terinspirasi dari ajaran agama. Seperti yang
dikatakan oleh Maurice Bucaille, ³ semua itu mendorong diriku untuk bertanya-tanya;
jika pengarang Al-Qur’an itu seorang manusia, mengapa pada abad ke-7 masehi,
orang itu menulis hal-hal yang terbukti cocok dengan sains modern (The Bible,
The Koran and Science, p. 144). Pandangan Bucaille ini menengahkan bahwa sains
dan teknologi berawal dari ilham (ajaran) agama.
Bagi orang islam semua kelahiran
ilmu tak lepas dari agama. Agama menjadi sumber inspirasi dan memotivasi untuk
mencari ilmu, mengeksplorasi alam semesta. Al-Qur’an bukanlah kitab teori yang
menyajikan secara detail mengenai keberadaan ciptaan Tuhan, sebagaimana yang
diungkapkan adlam salah satu ayat bahwa seandainya nikmat Tuhan itu ditulis
dengan air samudera dan daun yang ada takkan habis ditulis meskipun ditambah
semisal lagi. Alquran sumber inspirasi, ibaratnya bahan mentah dengan akal
manusia bahan mentah bisa dibentuk berbagai macam bentuk.
Inspirasi ajaran agama mengenai
sains juga mendorong kaun terdahulu untuk menjelaskan asal-usul alam semesta
ini meskipun terkesan aneh dan berbau mistis seperti yang dikemukakan oleh para
filsuf islam, diantaranya Ibn Arabi, membentangkan pula proses kejadian ini
dengan menyatakan bahwa manifestasi dari Tuhan yang pertama adalah awan (al ama
al haba) yang juga digambarkannya sebagai nafas Tuhan yang berada di
pangkuanNya sebelum dijadikan. Awan ini belum nyata akan tetapi juga tidak ³tak
ada´ perlu diingat bahwa terdapat suatu keadaan di antara ³ada´ dengan ³tak ada´,
yakni suasana dari kemungkinan untuk ada semesta.
Awan ini dianggap sebagai suatu asas
yang pasif pada waktu tuhan menyelenggarakan ciptaanNya, sedangkan Nur Ilahi
yang memancar dari Tuhan adalah asas aktif. Karena adanya persenyawaan antara
asas pasif dengan asas aktif, terjadilah semua kenyataan yang tersebar di dalam
semesta alam. Betapa banyaknya jenis-jenis dari bentuk-bentuk yang tampak;
semua itu asalnya satu ialah dari zat yang satu itu.
Pancaran (emanasi) yang pertama ini
disebut µintelek pertama´ (al akl awwal), sama dengan ³pena´ (qalam); juga
hakikat muhammadiyyah (hakikat yang terpuji). Kepadanya oleh Tuhan dituangkan
semua pengetahuan mengenai semua keadaan yang akan dijadikan; juga nama-nama
para malaikat yang akan membantu menyelesaikan ciptaan Allah.
Dari emanasi pertama tumbuh emanasi
kedua: ini merupakan roh semata yang digambarkan sebagai batu tulis yang mulia
(al-lauh al-mahfudz). Di atas batu tulis ini ³pena´ atau ³intelek pertama´ tadi
menuliskan semua yang diberitahukan kepadanya oleh Tuhan semua yang tertulis
ini adalah emanasi ketiga, yakni alam.
Semua ini terjadi di dalam suasana
cahaya yang cemerlang, akan tetapi pada waktu kejadian ini turun dalam beberapa
tingkatan, maka semua kejadian itu bercampur dengan kegelapan dari yang ³tak
ada´, dengan demikian tercapailah berturut-turut ³benda semesta´ (universeel
materie) dan ³jasmani semesta´ (universeel licham) atau ³singgasana Tuhan´,
yang boleh dipandang sebagai sesuatau yang pertama terjadi di dalam dunia
keadaan, kemudianalkursi, dan di dalamnya beberapa daerah: daerah bintang,
daerah planet, daerah empat anasir, aakhirnya daerah pelikan-pelikan,
tumbuhhan, hewan, dan manusia.
Meskipun kelahiran sains para
pemikir terdahulu berangkat dari ³sifat mengada-ada´ atau berfilsafat akan
tetapi itu semua merupakan sebagai ³batu loncatan´ untuk mengembangkan
pemikiran ilmuwan selanjutnya. Generasi ilmuwan beriukutnya merasa tertantang untuk
membuktikan ³pemikiran saintis terdahulu´. Meraka tidak ingin berfilsafat
tetapi ingin menemukan kebenaran (wujud nyata) dari filosof tadi. Dirancanglah
berbagai macam alat untuk menguji coba hipotesa-hipotesa yang telah
dilontarkan. Dengan semangat yang menggebu untuk mengngkap hipotesa maka
lahirlah ilmuwan-ilmuwan yang religious seperti, Jabir al-Hayyan, Al-Haytam,
Al-Kwarismi dan masih banyak lagi.
Semangat melhirkan sains adalah
effect dai agama-agama. Spirit agama dan sains seiring sejalan. Kalaupun ada
yang mengatakan bahwa agama menjadi sumber pengkerdilan sains juga tak bisa
ditampik. Sebaliknya, agamawan menuduh sains cenderung menyebabkan sifat ingkar
terhadap ajaran agama. Saling tuduh menuduh ini bisa dilihat sepanjang sejarah.
Di kalangan kristiani, kita mengenal Galileo yang telah menemukan teropong dan
mengemukakan, bahwa bumilah yang mengitari matahari, bukan sebaliknya.
Pernyataan Galileo ini mendapat tantangan keras dari kalangan gereja.
Akibatnya, Galileo harus mencabut pernyataan dan dipenjara.
Perbedaan pandangan antara kaum
agama dengan saintis, seperti yang dialami Halley dan rohaniwan serta teolog
pada abad pertengahan. Pihak gereja yakin bahwa komet adalah bola api yang
dilemparkan oleh Tuhan yang sedang marah kepada dunia yang jahat. Sedangkan
Halley meyakini bahwa komet adalah fenomena alam dengan menggunakan teori
Keppler dan Newton, Halley meramalkan bahwa komet tersebut akan terlihat lagi
di titik tertentu di langit. Hal ini terbukti meskipun Halley dan Newton telah
wafat.
Kasus pertentangan sains dan
agamawan juga terjadi di kalangan islam. Meskipun sebelumnya kalangan islam
sendiri pernah muncul ilmuwan-ilmuwan akan tetapi pada akhirakhir abad
pertengahan ilmuwan islam cenderung menurun. Seperti pertentangan antara Ibnu Rusyid
dan Imam Ghazali. Al-Ghazali dalam bukunya Tahafut Al-Falsifah mengoreksi
kerangka berpikir para filsuf. Setidaknya ada dua puluh kerancuan,menurut
Al-Ghazali, berpikir, yaitu:
Pertama, penolakan terhadap
keyakinan para filsuf terhadap eternitas (azaliyah) alam. Kedua, penolakan
terhadap keyakinan para filsuf terhadap keabadian (abadiyah) alam. Ketiga,
penolakan kaum filsuf yang tidak fair bahwa Allah adalah pencipta, dan
bahwasannya alam adalah produk ciptaannya. Keempat, ketidakmampuan para filsuf
untuk mengafirmasi pencipta. Kelima, ketidakmampuan para filsuf untuk
membuktikan ketidakmungkinan adanya dua tuhan melalui suatu agumen
rasional.Keenam, penolakan terhadap sifat-sifat Tuhan. Ketujuh, penolakan
terhadap teori filsuf bahwa dzat Tuhan tidak bisa dibagi dalam genus (jins) dan
deferensia (fushl). Kedelapan, penolakan terhadap teori para filsuf bahwa
prinsip yang pertama (The First Principle) adalah suatu sederhaa total (maujud
basith bil mahiyah). Kesembilan, ketidakmampuan para filsuf untuk menunjukkan
bahwa prinsip yang pertama adalah bukan benda. Kesepuluh, tesis bahwa para
filsuf lazim untuk mengafirmasi para filsuf untuk menyatukan adanya pencipta.
Kesebelas, ketidakmampuan para
filsuf untuk menyatakan bahwa prinsip yang pertama mengetahui seseorang selain
dirinya sendiri (ya’lam ghoiruhu).Kedua belas, ketidakmampuan para filsuf untuk
menyatakan bahwa Dia mengetahui diri-Nya sendiri (ya’lam dzatuhu). Ketiga
belas, penolakan terhadap ajaran para filsuf bahwa prinsip yang pertama tidak
mengetahui halhal yang particular (juz-iyyat). Keempat belas, penolakan
terhadap pandangan para filsuf bahwa langit merupakan makhluk hidup yang
gerakannya disengaja (bil irodah). Kelima belas, penolakan terhadap ajaran
teori para filsuf tentang tujuan gerakan langit. Keenam belas, penolakan
terhadap pandangan para filsuf bahwa jiwa-jiwa langit mengetahui hal-hal yang
particular. Ketujuh belas, penolakan terhadap keyakinan para filsuf akan
kemustahilan terjadinya hal-hal luar biasa (kharq al-µadaat) misalnya, mukjizat.
Kedelapan belas, penolakan terhadap keyakinan para filsuf yang menyatakan bahwa
jiwa manusia adalah substansi yang eksis dengan sendirinya, dan bukan benda
bukan pula sustu aksiden (ardh). Kesembilan belas, penolakan terhadap keyakinan
para filsuf akan kemustahilan fananya jiwa-jiwa manusia. Kedua puluh, penolakan
terhadap pengingkaran para filsuf akan kebangkitan tubuh-tubuh yang akan
diikuti perasaan senang, sakit yang dihasilkan oleh sebab-sebab fisik dan
perasaan senang, sakit yang dihasilkan oleh sebab-sebab fisik dari perasaan itu
di surga dan neraka.
Rasistensi terhadap sains juga
ditunjukka periode sesudah Al-Ghazali, Maryam Jameelah, seorang yahudi Amerika
yang masuk Islam, adalah juru bicara jemaat yang paling cakap tentang
masalah-masalah sains dan modernitas. Menurut pandangannya, sains modern adalah
kejahatan karena sifatnya yang tak mengenal Tuhan. Sains dan teknologi
sepenuhnya bergantung pada kumpulan ide-ide dan nilai-nilai yang dihargai oleh
angota-anggotanya. Jika akar dari sebuah pohon sudah busuk, maka pohonnya pun
akan busuk karena itu buahnya juga busuk. Maryam Jameelah merupakan penyuka
romantisme sejarah, dia memandang bahwa masa lalu lebih baik dari pada masa
sekarang, modernitas tidak menghasilkan apa-apa pun kecuali kerusakan jiwa.
Bahkan dia menjustifikasi sikapnya secara ideologis dengan menyitir hadist yang
berbunyi:
³Asiyah menceritkan bahwa Rosulullah
SAW berkata: ³siapapun yang menambahkan suatu inovasi baru ke dalam milik kita
(Islam) yang bukan bagian darinya, dia akan dikutuk´ (HR. Bukhori-Muslim).
Maulana Abu Ala Maududi, pendiri
jemaat e-Islami mengomentari masalah sains dan modernitas. Menurutnya, sedikit
pemikiran tentang hakikat perilaku dan pendidikan modern segera memperlihatkan
pertentangan mereka dengan hakikat perilaku dan pendidikan islam. Engkau
mengajarkan filsafat ke dalam pikiran-pikiran pemuda. Filsafat yang mencoba
untuk menerangkan ala semesta tanpa Allah. Engkau ajarkan kepada mereka sains
yang meniadakan akal dan menjadi budak dari perasaan panca indera. Engkau
ajarkan mereka ekonomi, hukum dan sosiologi yang dalam ruh dan
substansi-substansi, berbeda dari ajaran islam. Dan engkau masih mengharapkan
mereka untuk memiliki pandangan yang islami.
Sikap mereka sebetulnya bukanlah
tanpa sebab. Karena kenyataan di lapangan memang demikian faktanya, sains yang
telah dikembangkan menjadi bomerang bagi kita sendiri. Penacapain kemjuan
teknologi cenderung digunakan untuk menakut-nakuti individu/ Negara lain,
memonopoli, mengeksploitasi alam yang digunakan untuk individu. Kemajuan
teknologi ternyata dinikmati segelintir orang dan yang lain menjadi korban.
Mereka mengkritik masalah inti dan dasar sains itu sendiri, yakni tujuan awal
penemuan sains. Sains dan teknologi tidaklah bebas nilai, tetapi terikat dengan
nilai-nilai seperi agama, moral terdiri setempat.
Di sisi lain, melihat sikap dari
kalangan pemikir islam yang seolah-olah mencela sains dan teknologi,
menyebabkan umat islam yang awam ikut-ikutan dengan sikap mereka, sehingga
akhir-akhir ini umat islam lebih tertarik mempelajari ilmu agama (dalam arti
sempit) an sich, sedangkan untuk masalah-masalah ilmu sains mereka cenderung
copy/paste dari ilmuwan Barat bahkan menolaknya sama sekali. Sebetulnya yang
menjadikan hilangnya nilai sains dari nilai agama karena sikap apatis umat
agama. Sikap umat beragama seolah-olah mendua, di satu sisi mereka perlu sains,
di sisi lain mencela. Sikap antara mencela dan memerlukannya ini tidak
diimbangi dengan usaha untuk membuktikan kebenaran Al-Qur’an tentang sains.
Yang terjadi sekarang ini sikap yang cenderung Cuma mencocokkan sains dan
agama, kita berangkat dari sains ke agama bukan agama ke sains.
Adanya sikap umat islam yang agak
sensitive terhadap perkembangan sains, baik yang modern maupun yang klasik
menimbulkan pertanyaan-pertanyaan, apakah benar umat islam telah melahirkan
ilmu-ilmu sains? Kalaupun umat islam mengklaim bahwa islam (Al-Qur’an) sains
juga terkandung di dalamnya, lalu bagaimanakah implementasi mereka dari
ajarannya? Apakah ada sains islam? Berbedakah dengan sains modern? Apakah
parameter sains islam itu sendiri?
Berangkat dari pernyataan itu,
penulis ingin mengungkapkan pandangan dua pemikir islam yakni, Perves Hoodbhy
dan Ziauddin Sardar, tentunya, dari sudut pandang yang berbeda pula.
Pervez Hoodbhy
Adalah seorang fisikawan terkemuka
dari Universitas Quaid-i-Azzam, Islamabad, Pakistan. Lahir pada tahu 1950,
serta memperoleh gelar B. Sc (tehnik Elektro), B. Sc (matematika), M Sc (fisika
benda padat) dan Ph. D (fisika Nuklir) dari MIT. Banyak penghargaan yang beliau
dapatkan dari organisasi di negaranya. Minatnya tidak sebatas pada dunia fisika
tetapi mengenai eksposisi popular mengenai sains, pendidikan dan
masalah-masalah sosial.
Dalam bukunya ³ Ikhtiar Menegakkan
Rasionalitas antara Sains dan Ortodoksi Islam´ (Islam And Science, Religious
Orthodoxy And Bettle For Rasionality), mengomentari masalah sains dan islam.
Pertama, apakah antara islam dan sains sejalan? Melihat perkembangan awal
sejarah Islam (khusus pada masa khlofah bani Umayyah maupun Abbasiyyah) tak
dapat disangkal bahwa sains benar-benar ada dalam umat islam. Ini berarti bahwa
sains dan islam mempunyai hubungan timbal balik. Islam memberikan spirit
terhadap umat islam untuk mendalami segala ilmu pengetahuan. Efeknya, seperti
yang dilaporkan tim antropolog dari Mars (begitu beliau menyebutnya), bahwa
peradaban yang mempunyai masa depan cerah adalah peradaban Islam dengan Bait
al-Hikah, observatorium astronomi, rumah sakit dan Baghdad, pusat intelektual
dunia, tempat yang dituju para sarjana dari negeri-negeri yang jauh menampakkan
titik terang di muka bumi. Dalam pandangan orang Mars, Ibnu Haytsam dan Omar
Khayyam diakui sebagai pelopor ilmuwan modern, pembawa kecerdasan kosmik alam
semesta. Sebaliknya, Eropa, dengan paus-paus palsunya, tampak semakin mundur
dan biadab, tenggalam dalam kemuraman abad kegelapan.
Masalah kemajuan peradaban tidak
bisa lepas dari ideologis dan penafsiran (sikap) dari umat beragama. Abad kegemilangan
sains dalam dunia islam juga dipengaruhi oleh ideology yang berkembang pada
saat itu. Abad tersebut disinyalir lebih didominasi ideology yang lebih
mengedepankan akal dibanding bersandar pada wahyu. Kebenaran mereka dalam
mengambil ilmu-ilmu di luar lingkungan mereka seperti ilmu-ilmu yang berasal
dari Yunani tidak membuat mereka menjadi kafir atau perbuata mereka dikatakan
bid’ah.
Keberanian mereka ini menimbulkan
kemajuan ilmu pengetahuan. Meskipun mereka menerjemahkan karya-karya banyak
Yunani akan tetapi karya mereka melebihi orang-orang yunani bahkan tidak sama
sekali, seperti yang diungkapkan Baron Carra de Vaux penulis bab
‘astronomi dan matematika´ dalam
buku The Ideology Of Islam bahwa mereka (orang Islam) menciptakan aljabar dan
ilmu pasti, mengembangkannya secara luas dan memberi landasan bagi penemuan
trigonometri sferis (Spherical Trigonometry) yang benar-benar tidak ada di
kalangan orang-orang Yunani. Dalam bidang astronomi mereka membuat sejumlah
observasi yang bernilai.
Kemajuan peradaban umat beragama
tergantung keberanian dan sikap maupu ideologis. Meskipun dalam kitab suci
sudah berbicara panjang lebar mengenai sendi-sendi ilmu pengetahuan tetapai
jika mental kaum elit agamawan terlalu kolot maka akan menjadi stagnan kitab
suci tersebut alias semakin sempit makana dan keuniversalan sebagai µrahmatan
lil µalamin´
Mungkinkah ada sains islam? Menurut
Perves, tidak ada sains islam tentang dunia fisik, dan usaha untuk menciptakan
sains islam merupakan pekerjaan yang sia-sia. Alasannya, berdasarkan pada
prinsip-prinsip agama, pertama, tidak ada sains islam, semua usaha yang pernah
dilakukan untuk menciptakan sains islam telah gagal. Menurutnya, sains islam
tidak mempengaruhi pada pembuatan mesin atau instrument sains, sintesis senyawa
kimia atau obatobatan yang baru, rncana percobaan baru, atau penemuan hal-hal
yang sampai sekarang belum diketahui dengan fakta fisik yang dapat diuji. Malah
sebalinya, para pelaku sains islam telah menengahkan penelitian mereka kepada
masalah-masalah yang terletak di luar wilayah sains yang umum, misalnya,
masalah-masalah yang tidak dapat dibuktikan seperti kecepatan surga,
temperature neraka, komposisi kimia jin, rumusan untuk mengukur derajat
kemunafikan, penjelasn tentang isro’ mi’roj berdasarkan teori relativitas (
sekarang sudah banyak yang mengkaji antara isro’ mi’roj dengan teori
relativitas). Kedua, menjeaskan sekumpulan prinsipprinsip moral dan
teologi²berapun tingginya² tidak memungkinkan seseorang menciptakan sains baru
dari permulaan. Ketiga, belum pernah ada, dan sampai kini masih belum, definisi
islam yang dapat diterima semua kaum muslim.
Ziauddin Sardar
Dilahirkan di Pakistan dan bermukim
di inggris. Seorang intelektual muslim yang sering menyoroti masalah social
yang berkaitan erat dengan kemajuan teknologi abad modern. Sardar dan afkar
(karyanya) yang pernah menjadi fenomena tersendiri dalam intelektualisme pada
tahu 1980-an. Sardar dan koleganya melancarkan suatu gerakan yang memadukan
sekaligus tradisi intelektualisme dan aktivisme.
Mengenai masalah sains dan teknologi
yang berkembang diberbagai belahan dunia. Sardar memberikan koreksi bahwa sains
sekarang ini menyimpang dari nilai filsafah keilmuwannya. Sains dan teknologi
dikonstruksi hanya untuk memenuhi ambisi individual dan cenderung memojokkan
pihak ketiga, dengan kata lain sains dan teknologi sekarang ini lebih bertindak
sebagai pemangsa daripada penolong peradaban umat.
Penyebab yang mengaibatkan sains dan
teknologi bertindak sebagai µpemangsa´ karena sains dan teknologi tidak dimasuki
niai-nilai spritualitas religious. Tidak adanya ³roh agama´ dan bebas nialai
mendorong sains dan teknologi digunakan secara serampangan sehingga menyebabkan
degradasi multidimensional. Alternatifnya, adalah measukkan nilai-nilai agama
sebagai motivasi penemuan sains dan teknologi, sehingga ada rasa tanggung jawab
langsung kepada Tuhan.
Apalagi agama diturunkan tidak
sebatas sebagai wawasan keagaman, kesalehan pribadi, keyakina-keyakinan dan
ritual-ritual seperti yang dipahami kalangan modernis. Islam sebagai agama yang
mencangkup segala dimensi kehidupan dinilai tepat untuk ³menyetir´ tujuan sains
dan teknologi. Di siniah Islam diperlukan sebagai espitimologis, mengapa?
Kerena epistemologis menjadi vital karena ia merupakan operator mayor yang
mentransformasikan visi pandangan dunia ke dalam realitas. Epitemologis dan
struktur social yang bersifat saling melengkapi satu sama lain. Ketika kita
menstruktur ilmu pengetahuan, secara tak sadar sebenarnya kita sedang
memanipulasi image masyarakat; ketika kita mengembangkan dan menegakkan
struktur-struktur social, politik, sains dan teknologi sebenarnya menggunakan
konsepsi kita mengenai ilmu pengetahuan sebagai pedoman . maka dari itu,
mengapa konsep islam menganai ilmu pengetahuan, ilmu, begitu sentral bagi perdaban
islam. Untuk itu, ketika kita mau menciptakan semata yang baru kita tidak bisa
hanya mengacu pada satu disiplin keilmuwan saja, sebagai seorang ilmuwamn hars
memiliki kemampuan dan ketrampilan memproses dan mensintesiskan ide dari
berbagai keilmuwan, termasuk agama, sehingga epistemology tadi harus
benar-benar menciptakan peradaban yang adil, santun dan humanis.
Untuk itu, sardar menuliskan
perlunya sains islam, tanpa sains islam, masyarakat muslim hanya akan menjadi
dari bagian peradaban barat. Sains yang beroperasi dalam struktur nilai islam
memiliki proposisi yang berbeda dibandingkan dengan sains sebagai mana yang
dipraktekkan sekarang ini. Sains modern tidak berkepentingan untuk mengejar
kebenaran objektif maupun gagasan platonic, tetapi hanya sebagai suatu system
pemecahan masalah yang bersifat paradigmatic.
Kita membutuhkan sains islam karena
kaum muslim merupakan komunitas yang selalu mewajibkan untuk ³amar ma'ruf nahi
munkar´, sekaligs untuk menunjukkan bahwa sains dapat menjadi kekuatan positif
di dalam masyarakat. Kita membutuhkan sains islam karena kebutuhankebutuhan,
prioritas-prioritas dan perhatian para masyarakat muslim yang berbeda dari apa
yang dimiliki oleh peradaban barat. Peradaban tidak akan sempurna tanpa
memiliki suatu system objektif untuk memecahkan masalah yang terkerangka sesuai
dengan paradigmanya sendiri.
Sains islam agar berperanan dalam
kehidupan masyarakat luas, tidak hanya digunakan (diukur) masyarakat islam
saja, sudah tentu sains-sains tersebut harus mempunyai parameter- parameter
yang bisa diterima secara universal. Sains islam harus didasarkan pada suatu
karangka nilai yang merupakan karakteristik-karakteristik dasar kebudayaan
islam. Parameter tersebut antara lain: tauhid, khilafah, ibadah, ilm, halal dan
haram, adl, zulum, istishlah.
Sumber : Click
Terima kasih berbagi ilmunya, pencerahan.
BalasHapushttps://oakunambahilmu.wordpress.com/