PANDANGAN HUBUNGAN SAINS DAN
ISLAM
(Konflik,
Independensi, Dialog, dan Integrasi)
Oleh: Hamdan Husein Batubara
A.
PENDAHULUAN
Sains dan Islam
merupakan dua bidang ilmu pengetahuan yang sedang hangat-hangatnya
diperbincangkan. Sains dan Islam merupakan bidang ilmu pengetahuan yang
memiliki cara pandang yang berbeda dalam menyikapi kehidupan di zaman ini.
Namun disamping perbedaan teresebut masih ada hubungan timbal-balik yang sangat
dahsyat diantara sains dan Islam, apabila dikeduanya diintegrasikan dengan pola
baik.
Hubungan antara
sains dan agama kini menjadi
pertimbangan penting dikalangan pemikir, dan pembentukan kuliah-kuliah akademik
tentang sains dan Islam merupakan petunjuk kuat tentang hal tersebut.[1] Oleh karena
demikian, maka makalah yang dihadapan saudara ini adalah salah satu bentuk upaya
untuk mengkaji pandangan hubungan sains dan Islam, yakni dari sisi pandangan konflik, independensi, dialog, dan
integrasi.
B. PANDANGAN ISLAM
TERHADAP SAINS DAN TEKNOLOGI
Islam memiliki kepedulian dan perhatian penuh kepada
ummatnya agar terus berproses untuk menggali potensi-potensi alam dan
lingkungan menjadi sentrum peradaban yang gemilang. Dalam konteks ini, tidak
ada pertentangan antara sains dan Islam, dimana keduanya berjalan seimbang dan
selaras untuk menciptakan khazanah keilmuan dan peradaban manusia yang lebih baik dari
sebelumnya.
Pandangan Islam terhadap sains dan teknologi adalah bahwa
Islam tidak pernah mengekang umatnya untuk maju dan modern. Justru Islam sangat
mendukung umatnya untuk melakukan
penelitian dan bereksperimen
dalam hal apapun, termasuk sains dan teknologi. Bagi Islam, sains dan teknologi
adalah termasuk ayat-ayat Allah yang perlu digali dan dicari keberadaannya.
Ayat-ayat Allah yang tersebar di alam semesta ini merupakan anugerah bagi
manusia sebagai khalifatullah di bumi untuk diolah dan dimanfaatkan
dengan sebaik-baiknya.
Pandangan Islam tentang sains dan teknologi dapat
diketahui prinsip-prinsipnya dari analisis wahyu pertama yang diterima oleh Nabi
Muhammad SAW yang berbunyi:
اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ (١) خَلَقَ الإنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ (٢)اقْرَأْ
وَرَبُّكَ الأكْرَمُ (٣) الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ (٤)عَلَّمَ الإنْسَانَ مَا
لَمْ يَعْلَمْ (٥)
Artinya:“Bacalah dengan
(menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan. Dia Telah menciptakan manusia dari
segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah, Yang mengajar
(manusia) dengan perantaran kalam. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak
diketahuinya. (QS. Al-Isra: 1-5).
Ayat lain yang mendukung pengembangan sains adalah firman
Allah Swt. yang berbunyi bahwa:
إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ وَاخْتِلافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ
لآيَاتٍ لأولِي الألْبَابِ (١٩٠)الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا
وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ
وَالأرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذَا بَاطِلا سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ
النَّارِ (١٩١)
Artinya: “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan
bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi
orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil
berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang
penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau
menciptakan Ini dengan sia-si. Maha Suci Engkau, Maka peliharalah kami dari
siksa neraka.
QS. Ali-Imran: 190-191).
Ayat-ayat di atas adalah sebuah support yang Allah
berikan kepada hambanya untuk terus menggali dan memperhatikan apa-apa yang ada
di alam semesta ini. Sebuah anjuran yang tidak boleh kita abaikan untuk
bersama-sama melakukan penggalian keilmuan yang lebih progresif sehingga
mencapai puncak keilmuan yang dikehendaki Tuhan. Tak heran, kalu seorang ahli
sains Barat, Maurice Bucaile, setelah ia melakukan penelitian terhadap Alquran
dan Bibel dari sudut pandang sains modern, menyatakan bahwa:
“Saya menyelidiki keserasian teks Qur’an dengan sains
modern secara objektif dan tanpa prasangka. Mula-mula saya mengerti, dengan
membaca terjemahan, bahwa Qur’an menyebutkan bermacam-macam fenomena alamiah,
tetapi dengan membaca terjemahan itu saya hanya memperoleh pengetahuan yang ringkas.
Dengan membaca teks arab secara teliti sekali saya dapat menemukan catatan yang membuktikan bahwa Alquran tidak
mengandung sesuatu pernyataan yang dapat dikritik dari segi pandangan ilmiah di
zaman modern”.[2]
Selain banyak memuat tentang pentingnya pengembangan
sains, Alquran juga dapat dijadikan sebagai inspirasi ilmu dan pengembangan
wawasan berpikir sehingga mampu menciptakan sesuatu yang baru dalam kehidupan.
Hanya saja, untuk menemukan hal tersebut, dibutuhkan kemampuan untuk
menggalinya secara lebih mendalam agar potensi alamiah yang diberikan Tuhan
dapat memberikan kemaslahatan sepenuhnya bagi keselarasan alam dan manusia.[3]
Lebih jauh Osman Bakar mengungkapkan bahwa dalam Islam,
kesadaran religius terhadap tauhid merupakan sumber dari semangat Ilmiah dalam
sluruh wilayah pengetahuan. Oleh karena itu, tradisi intelektual Islam tidak
menerima gagasan bahwa hanya ilmu alam yang ilmiah atau lebih ilmiah dari ilmu-ilmu
lainnya. Demikian pula, gagasan objektivitas dalam kegiatan ilmiah menurutnya
tidak dapat dipisahkan dari kesadaran religius dan spiritual.[4]
Kendati demikian, Alquran bukanlah kitab sains dan
terlebih lagi pada pendekatan Bucaillisme melekat bahaya besar. Yaitu
meletakkan sains ke dalam bidang suci dan membuat wahyu Ilahi menjadi objek
pembuktian sains Barat. Jika suatu teori tertentu yang “dibenarkan” Alquran dan
diterima luas saat ini, kemudian satu ketika teori ini digugurkan, apakah itu
berarti bahwa Alquran itu sah hari ini dan tidak sah hari esok? Yang tepat
dilakukan ilmuwan muslim adalah memposisikan Alquran sebagai petunjuk
dan motivasi untuk menemukan dan
mengembangkan sains dan teknologi dengan ilmiah, benar dan baik.[5]
C.
TIPOLOGI HUBUNGAN
SAINS DAN ISLAM
Dalam kutipan Wahyu Nugroho, Gregory R. Peterson mencatat beberapa
lembaga, penerbitan, seminar dan konferensi yang diidentifikasi sebagai upaya
membangun model hubungan antara agama dan sains yang ideal dan ramai di
pasaran, seperti tulisan Ian G. Barbour lewat karyanya, Religion in an Age
of Science (1990), Nacey Murphy, Theology in the Age of Scientific
Reasoning (1990), Philip Hefner, The Human Factor (1993), Arthur
Peacock, Theology for a Scientific Age
(1993), dan lainnya.[6]
Di Indonesia, kajian dan pandangan tentang Integrasi Sains dan
Islam dalam berbagai interdisiplin keilmuan masih marak dibicarakan para tokoh
pendidikan. Oleh karena demikian, maka berbagai universitas mencoba memberikan
perhatian khusus pada bidang kajian integrasi sains dan Islam ini. Salah
satunya Universitas Brawijaya Malang telah membuka Program Studi Magister
Kajian Integrasi Sains dan Islam (INSANI), dimana visi utamanya adalah menjadi tempat
kajian interdisiplin saintifik-islami, serta
pusat informasi tentang kajian
integrasi sains dan Islam yang bermanfaat bagi masyarakat, bangsa dan Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Sementara Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang juga telah
membentuk sebuah forum yang mengkaji tentang model pendidikan integratif dan
model riset yang menintegrasikan sains dan Islam.
Ian G. Barbour selaku tokoh pengkaji hubungan sains dan agama telah
memetakan hubungan keduanya dengan membuka kemungkinan interaksi di antara
keduanya. Melalui tipologi posisi perbincangan tentang hubungan sains dan
agama, dia juga berusaha menunjukkan keberagaman posisi yang dapat diambil
berkenaan dengan hubungan sains dan agama terhadap disiplin-disiplin ilmiah
tertentu. Tipologi ini terdiri dari empat macam pandangan, yaitu: Konflik,
Independensi, Dialog, dan Integrasi yang tiap-tiap variannya berbeda satu sama
lain.
1.
Konflik
Pandangan konflik ini mengemuka pada abad ke–19 melalui dua buku
berpengaruh, yakni History of the conflict between Religion and Science
karya J.W. Draper dan History of the Warfare of Science with Theology in
Christendom karya A. D. White.[7]
Pandangan ini menempatkan sains dan agama dalam dua ekstrim yang
saling bertentangan. Bahwa sains dan agama memberikan pernyataan yang
berlawanan sehingga orang harus memilih salah satu di antara keduanya.
Masing-masing menghimpun penganut dengan mengambil posisi-posisi yang
bersebrangan. Sains menegasikan eksistensi agama, begitu juga sebaliknya.
Keduanya hanya mengakui keabsahan eksistensi masing-masing.
Adapun alasan utama para pemikir yang meyakini bahwa agama tidak
akan pernah bisa didamaikan dengan sains adalah sebagai berikut:
a.
Menurut
mereka agama jelas-jelas tidak dapat membuktikan kebenaran ajaran-ajarannya
dengan tegas, padahal sains dapat melakukan itu.
b.
Agama
mencoba bersifat diam-diam dan tidak mau memberi petunjuk bukti konkrit tentang
keberadaan Tuhan, sementara dipihak lain sains mau menguji semua hipotesis
dan semua teorinya berdasarkan pengalaman.[8]
Pertentangan antara kaum agamawan dan ilmuwan di Eropa ini
disebabkan oleh sikap radikal kaum agamawan Kristen yang hanya mengakui
kebenaran dan kesucian Kitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, sehingga
siapa saja yang mengingkarinya dianggap kafir dan berhak mendapatkan hukuman.
Di lain pihak, para ilmuwan mengadakan penyelidikan-penyelidikan ilmiah yang
hasilnya bertentangan dengan kepercayaan yang dianut oleh pihak gereja (kaum
agamawan). Akibatnya, tidak sedikit ilmuwan yang menjadi korban dari hasil
penemuan oleh penindasan dan kekejaman dari pihak gereja.
Contoh kasus dalam hubungan konflik ini adalah hukuman yang
diberikan oleh gereja Katolik terhadap Galileo atas aspek pemikirannya tentang
teori Copernicus, yakni bumi dan planet-planet berputar dalam orbit
mengelilingi matahari, padahal otoritas gereja meyakini bumi sebagai pusat alam
semesta. Oleh karena demikian maka Galileo diadili pada tahun 1633. [9]
Sementara disisi lain, sebahagian saintis berasumsi bahwa metode
ilmiah merupakan satu-satunya sumber pengetahuan yang dapat dipercaya dan
dipahami. Penganut paham ini cenderung memaksakan otoritas sains ke
bidang-bidang di luar sains. Sedangkan agama, bagi sebahagian kalangan saintis
barat dianggap subyektif, tertutup dan sangat sulit berubah. Keyakinan terhadap
agama juga tidak dapat diterima karena bukanlah data publik yang dapat diuji
dengan percobaan dan kriteria sebagaimana halnya sains.[10]
Barbour menanggapi hal ini dengan argumen bahwa mereka keliru
apabila melanggengkan dilema tentang keharusan memilih antara sains dan agama. Sains
dapat memurnikan agama dari kekeliruan dan klenik, sedangkan agama dapat
memurnikan sains dari keberhalaan dan keyakinan mutlak yang keliru. Dengan
keduanya lah (Agama dan Sains) kita mendapatkan pandangan yang lebih luas dalam
membangun keilmuan masa dewasa ini.[11]
Jelaslah bahwa pertentangan yang terjadi di dunia Barat sejak abad
lalu sesungguhnya disebabkan oleh cara pandang yang keliru terhadap hakikat
sains dan agama. Adalah tugas manusia untuk merubah argumentasi mereka, selama
ilmu pengetahuan dan teknologi yang mereka kembangkan itu bertentangan dengan
agama. Sains dan agama mempengaruhi manusia dengan kemuliaan Sang Pencipta dan
mempengaruhi perhatian manusia secara langsung pada kemegahan alam fisik
ciptaan-Nya. Keduanya tidak saling bertolak belakang, karena keduanya merupakan
ungkapan kebenaran.
Bagan 1.
Model Relasi Konflik Antara Agama dan Sains
Islam
Barat
|
|||
X
2.
Independensi
Satu cara untuk menghindari konflik antara sains dan agama adalah
dengan memisahkan dua bidang itu dalam kawasan yang berbeda. Agama dansains
dianggap mempunyai kebenaran sendiri-sendiri yang terpisah satu sama lain,
sehingga bisa hidup berdampingan dengan damai. Pemisahan wilayah ini tidak
hanya dimotivasi oleh kehendak untuk menghindari konflik yang menurut mereka
tidak perlu, tetapi juga didorong oleh keinginan untuk mengakui perbedaan
karakter dari setiap era pemikiran ini. [12]
Pemisahan wilayah ini dapat berdasarkan masalah yang dikaji, domain
yang dirujuk, dan metode yang digunakan. Mereka berpandangan bahwa sains
berhubungan dengan fakta, dan agama mencakup nilai-nilai. Dua domain yang
terpisah ini kemudian ditinjau dengan perbedaan bahasa dan fungsi
masing-masing.[13]
Analisis bahasa menekankan bahwa bahasa ilmiah berfungsi untuk
melalukan prediksi dan kontrol. Sains hanya mengeksplorasi masalah terbatas
pada fenemona alam, tidak untuk melaksanakan fungsi selain itu. Sedangkan
bahasa agama berfungsi memberikan seperangkat pedoman, menawarkan jalan hidup
dan mengarahkan pengalaman religius personal dengan praktek ritual dan tradisi
keagamaan. Bagi kaum agamawan yang menganut pandangan independensi ini,
menganggap bahwa Tuhanlah yang merupakan sumber-sumber nilai, baik alam nyata
maupun gaib. Hanya agama yang dapat mengetahuinya melalui keimanan. Sedangkan
sains hanya berhubungan dengan alam nyata saja. Walaupun interpretasi ini
sedikit berbeda dengan kaum ilmuwan, akan tetapi pandangan independensi ini
tetap menjamin kedamaian antara sains dan agama. Para saintis yang menganut
pandangan independensi adalah seorang Biolog Stephen Joy Gould, Karl Bath, dan
Langdon Gilkey.
Sebagaimana dikutip oleh Ian G. Barbour, Karl Bath dan pengikutnya,
menyatakan beberapa hal tentang pandangan independensi, yakni menurut mereka tuhan
adalah transendensi yang berbeda dari yang lain dan tidak dapat diketahui
kecuali melalui penyingkapan diri. Keyakinan agama sepenuhnya bergantung pada
kehendak Tuhan, bukan atas penemuan manusia sebagaimana halnya sains. Saintis
bebas menjalankan aktivitas mereka tanpa keterlibatan unsur teologi., demikian
pula sebaliknya, karena metode dan pokok persoalan keduanya berbeda. Sains
dibangun atas pengamatan dan penalaran manusia sedangkan teologi berdasarkan
wahyu Ilahi.[14]
Ian G. Barbour berkomentar bahwa “jika sains dan agama benar-benar
independen, kemungkinan terjadinya konflik bisa dihindari, tetapi hal tersebut
juga berefek pada memupus kemungkinan terjadinya dialog konstruktif dan
pengayaan di antara keduanya. Kita menghayati kehidupan bukan sebagai bagian-bagian
yang saling lepas. Melainkan kita merasakan hidup sebagai keutuhan dan saling
terkait meskipun kita membangun berbagai disiplin untuk mempelajari
aspek-aspeknya yang berbeda.”[15]
Bagan 2.
Model Relasi Independensi Antara Agama dan Sains
Islam
Barat
3.
Dialog
Pandangan ini menawarkan hubungan antara sains dan agama dengan
interaksi yang lebih konstruktif daripada pandangan konflik dan independensi.
Diakui bahwa antara sains dan agama terdapat kesamaan yang bisa didialogkan,
bahkan bisa saling mendukung satu sama lain. Dialog yang dilakukan dalam
membandingkan sains dan agama adalah menekankan kemiripan dalam prediksi metode
dan konsep. Salah satu bentuk dialognya adalah dengan membandingkan metode sains
dan agama yang dapat menunjukkan kesamaan dan perbedaan.[16]
Ian G. Barbour memberikan contoh masalah yang didialogkan ini
dengan digunakannya model-model konseptual dan analogi-analogi ketika
menjelaskan hal-hal yang tidak bisa diamati secara langsung. Dialog juga bisa
dilakukan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang ilmu pengetahuan yang
mencapai tapal batas. Seperti: mengapa alam semesta ini ada dalam keteraturan yang
dapat dimengerti? dan sebagainya. Ilmuwan dan teolog dapat menjadi mitra dialog
dalam menjelaskan fenomena tersebut dengan tetap menghormati integritas
masing-masing.[17]
Penganut pandangan dialog ini berpendapat bahwa agama dan sains
jelas berbeda secara logis dan linguistik, tetapi dia tahu bahwa dalam dunia
nyata mereka tidak bisa dikotak-kotakkan dengan mutlak, sebagaimana diandaikan
oleh pendekatatan indenpendensi. Bagaimanapun juga agama telah membantu
membentuk sejarah sains, dan pada gilirannya kosmologi ilmiah pun telah
mempengaruhi teologi.[18]
Dalam diskusi-diskusi filosofis dewasa ini tentang hakikat ilmu
pengetahuan, cara-cara sains dan teologi hampir-hampir tidak begitu berbeda,
secara tidak langsung hubungan sains dan agama tidak lagi dalam posisi konflik
dan indenpendensi. Pada pendekatan dialog ini sains tidak lagi tampak sangat
murni dan objektif sebagaimana biasanya, dan demikian pula teologi tidak tampak
sangat tidak murni atau subjektif.
Dari uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa kesejajaran
konseptual maupun metodologis menawarkan kemungkinan interaksi antara sains dan
agama secara dialogis dengan tetap mempertahankan integritas masing-masing.
Bagan 3.
Model Relasi Dialog Antara Agama dan Sains
Islam Barat
Persamaan
Perbedaan
4.
Integrasi
Pandangan ini melahirkan hubungan yang lebih bersahabat daripada
pendekatan dialog dengan mencari titik temu di antara sains dan agama. Sains
dan doktrin-doktrin keagamaan, sama-sama dianggap valid dan menjadi sumber
koheren dalam pandangan dunia. Bahkan pemahaman tentang dunia yang diperoleh
melalui sains diharapkan dapat memperkaya pemahaman keagamaan bagi manusia yang
beriman.
Ada tiga versi berbeda dalam integrasi, yaitu:
a.
Natural
Theology, mengklaim bahwa eksistensi Tuhan
dapat disimpulkan dari bukti tentang desain alam, yang dengan keajaiban
struktur alam membuat kita semakin menyadari bahwa alam ini adalah karya Allah
Swt. semata.
b.
Theology
Of Nature, berangkat dari
tradisi keagamaan berdasarkan pengalaman keagamaan dan wahyu historis. Theology
of Nature tidak berangkat dari sains sebagaimana natural
theology, Dalam theology of
nature, ia berpendapat bahwa sumber utama teologi terletak di luar sains,
tetapi ia juga berpendapat bahwa beberapa doktrin tradisional harus
dirumuskan ulang dalam sinaran sains terkini. Karena secara khusus,
doktrin tentang penciptaan dan sifat dasar manusia dipengaruhi oleh
temuan-temuan sains.
c.
Sintesis
Sistematis. Integrasi yang
lebih sistematis dapat dilakukan jika sains dan agama memberikan
kontribusi kea rah pandangan dunia yang
lebih koheren yang dielaborasi dalam kerangka metafisika yang komprehensif. [19]
Mencermati pandangan integrasi Sains dan agama akan memberikan
wawasan yang lebih besar mencakup sains dan agama sehingga dapat bekerja sama
secara aktif. Bahkan sains dapat meningkatkan keyakinan umat beragama dengan
memberi bukti ilmiah atas wahyu atau pengalaman mistis. Sebagai contohnya
adalah Maurice Bucaille yang melukiskan tentang kesejajaran deskripsi ilmiah
modern tentang alam dengan deskripsi Al Qur’an tentang hal yang sama.
Kesejajaran inilah yang dianggap memberikan dukungan obyektif ilmiah pada
pengalaman subyektif keagamaan. Pengakuan keabsahan klaim sains maupun agama
ini atas dasar kesamaan keduanya dalam memberikan pengetahuan atau deskripsi
tentang alam.
Pemahaman yang diperoleh melalui sains sebagai salah satu sumber
pengetahuan, menyatakan keharmonisan koordinasi penciptaan sebagai desain
cerdas Ilahi. Seperti halnya ketika memperhatikan bagian-bagian tubuh manusia
dengan strukturnya yang tersusun secara kompleks dan terkoordinasi untuk tujuan
tertentu. Meskipun Darwin melawan pandangan itu dalam teori evolusi yang
mengangggap bahwa koordinasi dan detail-detail struktur organisme itu terbentuk
karena seleksi alam dan variasi acak dalam proses adaptasi, namun dia sendiri
mengakui argumen desain Ilahi, akan tetapi dalam anggapan sebagai penentu dari
hukum-hukum proses evolusi itu yang membuka kemungkinan variasi detail
organisme tersebut.
Ada beberapa pendekatan yang digunakan dalam hubungan integrasi
ini. Pendekatan pertama, berangkat dari data ilmiah yang menawarkan bukti
konsklusif bagi keyakinan agama, untuk memperoleh kesepakatan dan kesadaran
akan eksistensi Tuhan. Pendekatan kedua, yaitu dengan menelaah ulang
doktrin-doktrin agama dalam relevansinya dengan teori-teori ilmiah, atau dengan
kata lain, keyakinan agama diuji dengan kriteria tertentu dan dirumuskan ulang
sesuai dengan penemuan sains terkini. Lalu pemikiran sains keagamaan
ditafsirkan dengan filasafat proses dalam kerangka konseptual yang sama.[20]
Bagan 4.
Model Relasi Integrasi Antara Agama dan Sains
D.
PENCIPTAAN ALAM SEMESTA DALAM PANDANGAN HUBUNGAN SAINS DAN ISLAM
Dalam meninjau hubungan sains dan agama, Penulis akan menunjukkan
pandangan keempat tipe hubungan sains dan Islam terhadap satu tema penting
seputar penciptaan alam semesta menurut tesis konflik, independensi, dialog,
dan integrasi.
1.
Konflik
Pandangan Konflik dihadirkan oleh kalangan Atheis yang mengatakan
bahwa keseimbangan gaya pada alam semesta yang menghasilkan kondisi yang
kondusif bagi munculnya kehidupan dan kecerdasan adalah kebetulan semata. Menurut
mereka, manusia secara kebetulan berada di dalam sebuah alam semesta yang
memungkinkan hadirnya kehidupan dan kecerdasan. Demikian pula pendapat materialis
ilmiah mengenai kosmologi mengarahkan manusia kepada faktor kebetulan atau keniscayaan,
bukan mengarahkan manusia kepada desain atau tujuan.[21]
2.
Independensi
Pada pandangan independensi, kalangan teolog mengklaim adanya
keharmonisan antara proses kosmik dengan Kitab Kejadian. Sejarah kosmik yang
menghasilkan pesona yang cerdas ditafsirkan sebagai ekspresi dari tujuan Tuhan
dan sebagai manifestasi sifat Tuhan yang cerdas dan personal.
Selanjutnya pendukung Independensi mengkalim bahwa makna religius
dari penciptaan dan fungsi penciptaan tidak ada kaitannya dengan teori ilmiah
tentang proses fisika kosmologi yang terjadi pada masa lalu. Menurut mereka dunia
tidak pula menjadi bagian dari Tuhan, atau berbeda dengan Tuhan. Sejumlah
Teolog berbagi pandangan bahwa kitab suci membawa gagasan yang dapat diterima,
tidak tergantung pada kosmologi sains. Sains dan agama melayani fungsi yang
berbeda dalam kehidupan manusia. Tujuan sains adalah memahami hubungan sebab-akibat
diantara fenomena-fenomena alam, sedangkan tujuan agama adalah mengikuti suatu
jalan hidup di dalam kerangka makna yang lebih besar. Pemisahan tersebut
menutup kemungkinan adanya hubungan positif dan koheren antara sains dan agama.[22]
3.
Dialog
Pendukung tesis dialog mengatakan bahwa sains memiliki perkiraan
dan pertanyaan-pertanyaan batas yang tidak dapat dijawab sendiri oleh sains. Maka
untuk menemukan jawaban atas pertanyaan sains itu, mereka menggunakan tradisi
keagamaan dengan doktrin biblikal tentang penciptaan yang memberikan
konstribusi penting terhadap kemajuan sains tanpa merusak integritas sains itu
sendiri.[23]
4.
Integrasi
Pendukung tesis integrasi merespon masalah kosmologi ini dengan
korelasi yang lebih dekat antara kepercayaan keagamaan dengan teori ilmiah
daripada yang dilakukan oleh pendukung tesis dialog. Gagasan mereka adalah
bahwa Tuhan benar-benar mengontrol semua peristiwa penciptaan yang tampak oleh
manusia sebagai kebetulan. Manusia dapat melihat desain proses keseluruhan di
dalam kehidupan yang terjadi dengan kombinasi dan ciri proses tertentu.
Keindahan bumi yang luar biasa mengekspresikan rasa syukur atau berkah
kehidupan, serta bentangan ruang dan waktu kosmos yang tak terbayangkan
memperlihatkan kerja Sang Pencipta yang diidentifikasi bertujuan sebagai
tatanan pemikiran bagi manusia bahwa segala sesuatu terjadi menurut perencanaan
yang sangat terperinci dan dalam kontrol total Tuhan.[24]
Beberapa fisikawan memandang adanya bukti desain dalam alam semesta
ini. Dyson misalnya telah memberikan sejumlah contoh tentang sejumlah peristiwa
yang tampaknya mengarah ke terbentuknya alam semesta yang dapat dihuni.
Kemudian dia menyimpulkan bahwa semakin banyak dia menelaah alam semesta
dan mencermati detail arsitekturnya, semakin banyak bukti yang saya temukan
bahwa alam semesta dalam sejumlah pengertian telah mengetahui keberadaan kita,
artinya telah desain arsitekturnya telah dicocokkan dengan kondisi biologis
kita. Kaum beragama telah menggap hal ini sebagai bagian dari desain Tuhan.[25]
Setelah meninjau pandangan keempat tipe hubungan sains dan agama
dalam merespon masalah penciptaan, penulis lebih mendukung dan mengakomodasi
pendekatan integrasi dalam menghubungkan sains dan Islam, karena dalam hubungan
integrasi ini keanekaragaman realitas yang relatif terpadu dengan Kesatuan
Realitas yang Mutlak. Di mana realitas sains memiliki konvergensi dengan
realitas yang diungkapkan Alquran mengenai fenomena alam dan manusia. Tanpa
integritas keduanya, manusia akan terus menghadapi problematika modernitas
sains di tengah pesatnya perkembangan teknologi.
E.
IMPLIKASI FISIKA KUANTUM DALAM PANDANGAN HUBUNGAN SAINS DAN ISLAM
Fisika adalah ilmu yang mempelajari struktur dasar dan proses
mengubah yang terjadi pada materi dan energi. Menjelajah susunan materi yang
paling kecil dan persamaan matematika yang paling abstrak, fisika tampak
semakin menjauhkan manusia dari agama.
1.
Konflik
Dalam pandangan konflik, peran kebetulan dalam fenomena kuantum
telah menantang gagasan tentang tujuan dan kedaulatan ilahi. Konflik paling signifikan
melibatkan hubungan antara kontrol Tuhan atas peristiwa, determinasi oleh hukum
alam, dan kehadiran kebetulan pada tingkat kuantum.
Pada mulanya, Newton dan dan rekan sezamannya berpendapat bahwa
alam adalah mesin rumit yang mengikuti hukum yang tak berubah-ubah, tetapi
mengekspresikan kebijaksanaan Pencipta yang cerdas, artinya mereka percaya akan
adanya campur tangan tuhan.
Namun selanjutnya konsep Newtonian berhasil secara spektakuler
menjelaskan sejumlah besar fenomena yang beraneka. Determinisme paling
tegas didukung oleh Laplace, yang mengklaim bahwa jika kita mengetahui posisi
dan kecepatan setiap patikel di alam semesta, kita akan sanggup memprediksi
semua kejadian pada masa depan. Klaim ini bersifat reduksionis karena
berasumsi bahwa prilaku semua entitas ditentukan sepenuhnya oleh perilaku
komponen-komponen terkecilnya. Dengan demikian dalam dunia deterministik tuhan
tidak disebutkan, sehingga tantara mereka dengan agama terjadi konflik.[26]
2.
Independensi
Dua ide yang diambil dari
tafsiran fisika kuantum dimanfaatkan untuk membela independensi sains dan
agama. Pertama, kaum instrumentalis memandang teori kuantum dapat
digabungkan dengan pandangan instrumentalis terhadap keyakinan agama
untuk berargumen bahwa sains dan agama merupakan bahasa-bahasa berbeda yang
fungsinya secara berbeda pula dalam kehidupan manusia. Kedua, komplementaritas
model partikel dengan model gelombang dalam
fisika kuantum yang diperluas mengatakan bahwa sains dan agama memberikan model
realitas yang komplementer, yang independen dan tidak dalam posisi konflik.[27]
3.
Dialog
Beberapa percoabaan yang
cemerlang pada 1990-an telah memungkinkan studi dekoherensi fungsi gelombang
kuantum ketika ia berinteraksi dengan lingkungan yang lebih luas. Aliran atom
sodium atau aliran ion berilium telah diperiksa oleh denyut laser disepanjang
lintasannya untuk meneliti transisi dari perilaku kuantum ke perilaku klasik.
Koherensi keadaan kuantum ini akan runtuh ketika informasi tentangnya tersedia
melalui interaksi dengan denyut laser, yang dapat dipandang sebagai sebentuk
pengukuran. Alih informasi bukan alih kesadaran merupakan ciri penting dari
runtuhnya fungsi gelombang selama percobaan.[28]
Namun fisika kontemporer benar-benar mempunyai pelajaran epistomologis
tentang keterlibatan pengamat. Dalam fisika kuantum, pengamat
berpartisipasi melalui sifat interaksif dalam proses mengamati. Dalam teori
relativitas, sifat temporal dan spasial berpariasi terhadap kerangka acuan
pengamat. Sifat ini dipahami sebagai hubungan bukan sebagai sifat intrinsic objek-objek. Dalam agama,
pengetahuan hanya dimungkinkan terwujud melalui partisipasi meskipun bentuk
partisipasi dalam sains. Kita ingin mengetahui pola hubungan Tuhan dengan kita,
tetapi kita hanya mempunyai pengetahuan serba sedikit tentang sifat Tuhan yang
sesungguhnya.[29]
4.
Integrasi
Pendukung integrasi mengklaim adanya hubungan dekat antara teori
ilmiah dan keyakinan agama tertentu daripada yang diajukan oleh pendukung
Dialog, meskipun tidak ada garis tajam yang memisahkan keduanya. Dua versi
Integrasi akan dieksplorasi dengan ditarik dari holism kuantum dan
ketidakpastian kuantum.
Beberapa penulis menawarkan integrasi sistematis atas fisika
kontemporer dan mistisme Timur. Menurut Capra, fisika dan agama-agama Asia
mengakui adanya keterbatasan bahasa dan pikiran manusia. Misalnya paradoks
dalam fisika adalah dualitas partikel/ gelombang, mengingatkan polaritas yin/yan
dalam Taoisme Cina, yang menampakkan kesatuan dari hal yang tampaknya
berlawanan. [30]
Dalam teori relativias, ruang dan waktu membentuk keseluruhan
terpadu dan materi energi diidentifikasi sebagai kelengkungan ruang. Pemikiran
Timur juga menerima kesatuan segala sesuatu dan berbicara tentang kesatuan tak
terpisah yang ditemukan dalam kedalaman meditasi. Fisika baru mengatakan bahwa
pengamat dan yang diamati merupakan dua hal yang tak terpisahkan, sebagaimana
tradisi mistik menyatakan kesatuan antara subjek dan objek.[31]
Selanjutnya mengenai ketidak pastian hukum menurut beberapa penulis
adalah merupakan domain yang di dalamnya Tuhan mengendalikan dunia dengan kasih
sayang. Para saintis tidak menemukan
sebab alami bagi seleksi diantara alternatif-alternatif kuantum, karena
kebetulan bukanlah sebuah sebab. Pada sisi lain, kaum bertuhan mungkin
memandang seleksi semacam itu sebagai tindakan Tuhan. Tuhan akan mempengaruhi
peristiwa tanpa bertindak sebagai gaya fisika. Karena sebuah elektron dalam
superposisi-keadaan tidak mempunyai posisi yang pasti, tidak ada gaya yang
diperlukan bagi Tuhan untuk mengaktualisasikan satu di antara sehimpunan
potensialitas alternatif. Dengan arahan beberapa atom yang terkoordinasi, Tuhan
dapat secara baik mengatur semua peristiwa.[32]
Ketidak pastian pada tingkat kuantum tampaknya tidak relevan dengan
fenomena pada tingkat sel-hidup yang mengandung jutaan atom, yang
fluktuasi statistiknya cenderung rata-rata. Persamaan kuantum memberikan
prediksi eksak atas sehimpunan besar dan bukan satu peristiwa. Atom dan molekul
mempunyai kestabilan inheren terhadap gangguan kecil karena setidak-tidaknya
suatu kuantum energi dibutuhkan untuk mengubah keadaannya. Bagaimanapun juga
dalam beberapa sistem biologis, peristiwa kecil dapat mempunyai konsekuaensi
yang besar. Misalnya dalam sistem saraf otak, peristiwa kecil dapat merangsang
pengaktifan neuron yang efeknya dilipatgandakan oleh jaringan saraf. Maka
dengan mengontrol peristiwa kuantum, Tuhan dapat mempengaruhi peristiwa-peristiwa
dalam sejarah evolusi manusia.[33]
Menurut Fisikawan dan teolog Robert Russell adalah satu di antara
sekian orang yang berpendapat bahwa Tuhan mempengaruhi hanya peristiwa kuantum
tertentu dan juga bertindak pada tingkat yang lebih tinggi sebagai sebab Top-Down
pada peristiwa pada tingkat yang lebih bawah. Ini akan menghindari
keberatan terhadap adanya kebetulan, hukum, dan tindakan Tuhan di dunia
kuantum.[34]
F.
PERTEMUAN IMAN DENGAN SAINS
Ada dua dorongan yang memandu teologi Kristen sehingga dapat
bertemu dengan sains, dan dorongan tersebut juga mungkin dirasakan para pemikir
Islam. Dorongan yang pertama adalah dorongan yang bersifat inheren dalam iman
untuk mendapatkan pemahaman lebih mendalam, sedangkan dorongan yang kedua
adalah dorongan ajaran agama dan tujuan sains untuk
menuju kebenaran.[35]
Pada dasarnya, Iman didasarkan atas pewahyuan; tetapi dengan
menghargai misteri yang melingkupi Tuhan pencipta kita, iman berupaya keras
untuk mendapatkan pemahaman lebih lanjut mengenai hubungan yang rumit antara pencipta dan ciptaan-Nya. Dalam dunia
modern, secara dramatis ilmu pengetahuan telah menunjukkan kemampuannya untuk
melakukan penelitian yang progresif, yang menghasilkan kegairahan baru yang
luar biasa akan pengetahuan baru. Penghargaan yang tinggi terhadap keajaiban
alam yang dimungkinkan oleh ilmu pengetahuan itu sendiri merupakan sebuah
peristiwa Roh Tuhan di dalam jiwa manusia. Maka ketika iman menginginkan
pemahaman yang lebih menadalam, metodologi sains telah menjadi suatu
kebutuhannya untuk meningkatkan pemahaman akal ke puncak yang tertinggi.
Sementara disisi lain, ilmu dan iman adalah dua kebenaran yang
memiliki karakter yang berbeda, namun walaupun demikian, agama telah
menunjukkan bahwa Tuhan adalah realitas mutlak. Kebenaran tentang apapun pada
akhirnya juga benar dalam kaitannya dengan Tuhan. Iman kita tidak bisa
membangkitkan keyakinan apabila kita tidak meyakini kebenarannya. Karena adanya
komitmen teologis yang biarpun sangat vital tetapi implisit terhadap kebenaran
ini. Bagi pemikiran teologis, penelitian ilmiah memiliki daya tarik bawaan. Sebab
teologi seharusnya menemukan rekan dalam laboratoriumnya.[36]
Walaupum tampaknya ada peperangan di beberapa medan pertempuran,
sebuah iman yang beruapaya mendapatkan pemahaman seharusnya juga mencari
perdamaian antara ilmu dan teologi. Lebih daripada sekedar perjuangan untuk
mendapatkan dominasi intelektual, upaya pencarian kebenaran mendorong kita
memasang mata untuk mencari merpati perdamaian di cakrawala.
G.
METODE MENDAMAIKAN ANTARA ISLAM DENGAN SAINS
MODERN
Untuk menemukankonsep perdamaian antara
Islam dan sains modern, kita perlu memandang hubungannya dari perspektif konsep
Islam tentang alam dipandang secara keseluruhan dan dalam matriksnya
tersendiri, sebagaimana didefenisikan Alquran. Ini tidaklah mudah karena begitu
kita membawa nas wahyu ke dalam wacana kontemporer, akan segera muncul
sikap-sikap yang keras dan pintu-pintu perdamaian akan
tertutup.
Wacana sains dan agama di Barat dijelaskan dan terangkan dalam
kerangka teologi dan sains, sekurang-kurangnya tidak dalam arus utamanya. Namun
hambatan terbesarnya barangkali adanya pendapat yang menyejajarkan pandangan Islam dan pandangan
fundamentalis kristenan di Barat yang meletakkan al Kitab sebagai imbangan
dalam wacana hubungan sains dan agama sehingga pandangan tersebut tidak disukai
di dunia akademis. Namun dengan tetap menyadari hambatan ini, kita harus
berpikir tentang wacana Islam dan sains yang berakar secara murni dalam
Alquran.[37]
Selanjutnya, wacana Islam dan sains juga tidak
dapat mencapai kemurniannya tanpa merujuk kembali keoada tradisi saintifik
Islam. Misalnya mempertanyakan apa yang Islami dalam sains Islam? Bagamana
tradsi saintifik Islam berakar dalam pandangan dunia Alquran, dan apa yang
terjadi dengan tradisi tersebut? Dan yang paling penting menjadi perhatian juga
adalah epitomologis mengenai status Alquran dalam kaitannya dengan sains modern
dan hakikat serta makna “ayat-ayat saintifik” dalam Alquran. Begitu juga
tentang konsep-konsep kosmos di dalam Alquran, hakikat perbuatan Tuhan, serta
hubungan Tuhan dengan makhluk sebagaimana yang didefenisikan oleh Alquran.
Semua hal tersebut tidak bisa diabaikan dalam wacana tentang Islam dan Sains.
Tentunya dengan mempertimbangkan itu akan memberikan tilikan tajam mengenai
terbentuknya struktur dasar sains modern dan kaitan antara struktur filosofis yang
mendasarinya dan pandangan dunia Islam. Hanya dengan demikian itulah kita bisa
membangun model-model dan metodologi-metodologi bagi wacana Islam dan sains.[38]
Selain daripada beberapa persoalan di atas,
ada banyak persoalan lain yang perlu dijelajahi. Persoalan-persoalan
tersebut mencakup seluruh isu yang
berkaitan dengan etika dan syari’at dalam kaitannya dengan cabang-cabang
tertentu dari sains modern seperti bioteknologi dan genetika.
H.
PENUTUP
Agama
dan sains dalam pentas kehidupan manusia adalah dua entitas yang berbeda
sebagai sumber pengetahuan dan sumber nilai bagi kehidupan manusia. Kendati
dalam kerangka filosofis keduanya berbeda, tetapi dalam konteks historis pernah
dilakukan upaya-upaya konsolidatif, baik dalam
bentuk kontraproduktif maupun dalam bentuk mutualistik untuk mempertemukan keduanya.
Banyak persoalan-persoalan fundamental dan juga yang
berkaitan dengan etika dan syari’at yang harus menjadi perhatian penting bagi
para ilmuan dalam membangun model-model dan metodologi-metodologi bagi wacana
Islam dan sains.
Upaya
konsolidatif ini dilakukan agar diantara keduanya tidak menjadi instrumen dan
medium percekcokan dan sumber konflik bagi kehidupan manusia, tetapi sebaliknya
diupayakan menjadi sumber inspirasi untuk meningkatkan kearifan dan kesadaran
dinamis dalam diri manusia dalam hubungannya dengan alam (makrokosmos) dan
dalam hubungannya dengan sesama manusia (mikrokosmos) dan dalam hubungannya
dengan yang Ilahi (transcendental). Dengan demikian, baik agama maupun
sains sama-sama mengabdi untuk kepentingan kesejahteraan dan kemakmuran
manusia.
DAFTAR PUSTAKA
Bakar,
Osman, Tauhid dan Sains, Esai-Esain Tentang Sejarah dan Filsafat
Sains Islam, Penerjamah: Yuliani Liputo, Bandung: Pustaka Hidayah,
1995.
Barbour,
Ian G., Juru Bicara Tuhan, Antara Sains dan Agama, Terj. E.R. Muhammad, Bandung:
Mizan, 2002.
Buccaile,
Maurice, Bible, Qur’an dan
Sains Modern, terj; H.M. Rasjidi, Jakarta: Bulan Bintang, 1999.
Haught, John F., Perjumpaan
Sains dan Agama; dari Konflik ke Dialog, Bandung: Mizan, 2004.
Masruri, Hadi & H.
Imron Rossidy, Filsafat Sains dalam Alquran: Melacak Kerangka Dasar
Integrasi Ilmu dan Agama, Malang:
UIN-Malang Press, 2007.
Mulkhan,
Abdul Munir, Kesalehan Multikultural: Ber-Islam Secara Autentik-Kontekstual
di Aras Peradaban Global, Jakarta: PSAP, 2005.
Nugroho,
Wahyu, Teologi Kristen dalam Konteks Sains; Kajian Kritis atas
Gagasan Arthur Peacocke”, dalam
Journal of Religion Issues, I:01, 2003.
Peters,
Ted, dkk ed., Tuhan, Alam, Manusia; Perspektif Sains dan Agama, Penerj.
Ahsin Muhammad, dkk, Bandung: Mizan, 2006.
0 komentar:
Posting Komentar